KONTEKS.CO.ID – Sejarah NIAC Mitra sangat panjang. IBukan sekadar klub sepak bola biasa di Indonesia, NIAC Mitra adalah klub legendaris pada zamannya. Kklub raksasa dari Surabaya ini bahkan menjadi klub tersukses di era kompetisi Galatama.
Bisa dibilang, NIAC Mita adalah Galatama, Galatama adalah NIAC Mitra. Dari 11 musim kompetisi Galatama, NIAC Mitra sukses tiga kali menjadi kampiun.
NIAC Mitra memulai jejak kebesarannya pada 1979. Bersama Pardedetex, Warna Agung, Jayakarta, dan Indonesia Muda, NIAC Mitra menjadi salah satu klub pendiri kompetisi sepak bola Galatama Indonesia.
Pada tahun yang sama, NIAC Mitra langsung mewakili Indonesia mengikuti Aga Khan Gold Cup di Bangladesh, karena menjadi juara paruh musim Galatama yang pertama. Di kompetisi level internasional ini NIAC Mitra menjadi juara.
Baru empat tahun menjadi klub sepak bola profesional, tepatnya pada 1983, NIAC Mitra juga menorehkan sejarah emas dengan menaklukkan klub Liga Inggris, Arsenal. Sampai sekarang hanya mereka tim dari Indonesia yang pernah mengalahkan salah satu raksasa sepak bola Inggris.
NIAC Mitra, Klub Karyawan yang Mencoba Serius
Tak akan ada nama NIAC Mitra jika tidak ada seorang pengusaha berdarah Tionghoa-Manado bernama Agustinus Wenas. Sebagai pemilik berbagai bidang usaha, salah satunya bioskop Mitra– bioskop elite di masa belum ada jaringan bioskop XXI dan sebagainya–Wenas tidak sekadar mengejar keuntungan.
Sebagai orang ‘gila bola’ Agustinus Wenas coba merealisasikan mimpi besar di sepak bola. Setidaknya di lingkungan kantornya, Mentos.
Pada 1970 ia membuat wadah agar para karyawannya bisa menyalurkan hobi mengolah si kulit bundar. Sekaligus sebagai sarana melepas penat usai bekerja.
Seiring waktu, Wenas melihat ada beberapa karyawan yang punya potensi menjadi atlet sepak bola hebat. Ia merasa sayang jika potensi itu tidak tergali optimal.
Wenas lantas menginstruksikan agar karyawannya membentuk tim sendiri. Proses pembentukan tim melalui tahap seleksi ketat dengan pengawasan pelatih berkualitas.
Bagi karyawan yang lolos seleksi nantinya terpilih masuk ke tim sepak bola. Nama yang dipilih sebagai identitas tim sepak bola ini adalah Mentos Surabaya.
Nama Mentos merujuk kepada perusahaan milik Wenas. Kemudian Surabaya adalah label tempat di mana perusahaan itu berada.
Ikut Pembinaan Persebaya
Setelah Mentos Surabaya terbentuk, program pembinaan dan pengembangan klub berjalan secara lebih serius. Wenas tidak mengenal istilah setengah-setengah.
Ia benar-benar berambisi besar membawa Mentos Surabaya ke arah yang lebih profesional. Ia siap keluar duit berapapun untuk membentuk tim yang tangguh.
Demi menuntaskan ambisinya, Wenas mendaftarkan Mentos Surabaya ke sistem pengembangan yang dikomandoi Persebaya Surabaya.
Mentos Surabaya kemudian mengubah nama jadi PS Mitra, selanjutnya berhak ikut dalam kompetisi amatir di bawah Perserikatan Persebaya. Bagi publik Surabaya kompetisi amatir itu lumayan bergengsi dan menghibur.
Dari situ perkembangan PS Mitra sudah berada di jalur yang benar. Kiprahnya juga cukup mengesankan karena berulang kali tampil sebagai juara. Setidaknya dari 1975 hingga 1978, lemari prestasi klub ini selalu penuh.
Pergerakan PS Mitra seketika mencuri perhatian pencinta sepak bola di Surabaya. Masyarakat mulai yakin wajah persepakbolaan Surabaya lebih cerah dengan keberadaan PS Mitra.
Penggemar PS Mitra pun memberi julukan buat klub ini, yaitu ‘Bayi Ajaib’. Itu merujuk kepada eksistensi klub yang tergolong baru, tetapi memiliki banyak catatan gemilang.
Tidak Puas Berkutat di Amatir
Sederet kesuksesan di level amatir ternyata tidak membuat Wenas puas. Ia coba membidik target lebih tinggi, tampil di kompetisi profesional!
Tidak tanggung-tanggung Wenas menjadikan klub Eropa sebagai kiblat dalam manajerialnya PS Mitra. Sebab, profesional berarti harus bisa mandiri secara finansial, tidak lagi bergantung dari tipis atau tebalnya kocek pemilik.
Mencari sponsor merupakan ‘jalan ninja’ yang dipilih Wenas. Dengan latar sebagai pengusaha, tidak sulit buat dirinya mempromosikan PS Mitra ke calon sponsor.
Lewat promosi yang masif, Wenas akhirnya mencapai kesepakatan dengan perusahaan bernama New International Amusement Center atau disingkat NIAC. Bisnis perusahaan ini bergerak di bidang rumah judi dan kasino. Pada era 1970-an NIAC merajai pasar bidang itu di kota Surabaya. Banyak media menulis bahwa nama tersebut adalah bioskop milik Wenas.
Namun Devana Bramantya Saksono dan Edy Budi Santoso dalam “Niac Mitra Surabaya: Potret Pasang Surut Kesebelasan Sepak Bola Tahun 1979-1990” (Verleden: Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No. 2, Juni 2015), menulis bahwa nama itu adalah sebuah perusahaan rumah judi atau kasino terbesar di Surabaya pada tahun 1974-1979, berdasarkan wawancara mereka dengan Rudi Wiliam Keltjes, mantan pemain NIAC Mitra.
Kerja sama itulah yang membuat nama PS Mitra berubah menjadi NIAC Mitra, sama seperti yang pernah kita kenal dahulu. Dengan nama baru popularitas klub ini ternyata makin meluas.
Berkibar di Galatama
Di tengah ambisi NIAC Mitra jadi klub profesional, PSSI sedang memikirkan menggelar kompetisi di luar perserikatan. Pesertanya adalah klub yang berasal dari dunia swasta, bukan berlatar perserikatan.
Pada awal 1970-an anggota PSSI menggodok ide kompetisi profesional itu supaya cepat terealisasi. Tujuannya demi memajukan kualitas sepak bola nasional, karena sudah tertinggal dari Eropa.
Ide kompetisi profesional akhirnya terwujud pada era PSSI diketuai Ali Sadikin. Dari situ muncul kompetisi yang bernama: Galatama, dan musim pertama dimulai pada 17 Maret 1979.
Musim pertama Galatama diikuti 14 tim dan NIAC Mitra merupakan satu di antara pesertanya. Pada kesempatan pertama kala itu mereka mampu finis di urutan empat besar.
NIAC Mitra dari 25 pertandingan mampu mencetak 13 kali kemenangan, 8 kali imbang, dan sisanya kalah. Di akhir musim torehan poinnya sebanyak 34, hanya selisih 4 poin dari Warna Agung yang tampil sebagai juara.
Pada musim kedua NIAC Mitra mengalami peningkatan prestasi. Di akhir musim tampil sebagai juara dengan catatan 26 kali menang, 5 imbang, dan 3 kalah.
Musim berikutnya lagi-lagi NIAC Mitra keluar sebagai juara. Gelar kedua ini diwarnai kehebatan dua pemain Singapura yang direkrut, yaitu penyerang Fandi Ahmad dan penjaga gawang David Lee.
Bahkan pada musim 1987/1988, NIAC Mitra kembali muncul sebagai juara. Total mereka mengoleksi tiga gelar juara sepanjang partisipasi di Galatama. Kehebatan NIAC Mitra baru terkejar oleh klub Galatama beken lainnya, seperti Pelita Jaya, beberapa tahun kemudian.
Menaklukkan Arsenal
Musim panas menjadi kesempatan buat tim dari Eropa untuk berlibur. Itu karena kompetisi sedang libur setelah satu musim penuh bergulir.
Begitu pula pada Juni 1983 saat klub asal London, Arsenal, berkunjung ke Indonesia. Kunjungan itu sebetulnya untuk membawa para pemain berlibur, tetapi sekalian pemanasan pemain buat laga pramusim.
Hasilnya skuad Arsenal menjadwalkan uji coba dengan beberapa klub nusantara. Baik, dari Perserikatan maupun Galatama dan NIAC Mitra menjadi salah satunya.
Arsenal kala itu memang belum segemerlap sekarang. Namun mereka memiliki beberapa pemain level timnas, mulai penjaga gawang Pat Jennings hingga David O’Leary. Dua nama itu mampu menarik bobotoh sepak bola datang menonton di stadion.
Mampu menang 3-0 atas PSMS dan 5-0 atas PSSI Selection, Arsenal harus tersandung di Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya. NIAC Mitra lah yang menjadi batu sandungan itu.
‘The Gunners’ kandas di kaki dan kepala para pemain NIAC Mitra. Djoko Malis dan kawan-kawan mampu mempermalukan Arsenal dalam pertandingan yang berlangsung mulai pukul 14.30 WIB itu.
Dua gol kemenangan NIAC Mitra asuhan M Basri dicetak Fandi Ahmad pada babak pertama dan Djoko Malis babak kedua. Skuad Arsenal pun pergi ke Bali untuk meneruskan liburan membawa cerita dipermalukan ‘Bayi Ajaib’ dari Surabaya.
Prestasi Internasional Saat Masih ‘Bayi’
NIAC Mitra tidak hanya jago di kompetisi domestik. Mereka ternyata juga mampu bersaing di pentas internasional. Cerita ini pernah tercatat ketika mengikuti Aga Khan Gold Cup 1979.
Kompetisi itu merupakan cikal bakal dari Liga Champions Asia yang sekarang kita kenal. Peserta Aga Khan Gold Cup adalah tim top Benua Asia.
Perjalanan NIAC Mitra di ajang Aga Khan Gold Cup 1979 bermula saat meladeni Korea League XI Selection. Saat itu NIAC Mitra mendominasi permainan dan menang mudah 4-1. Kemenangan itu membawa NIAC Mitra melaju ke semifinal, lawannya adalah tim top dari Bangladesh: Abhani.
Bangladesh merupakan penyelenggara dari turnamen ini. Maka dukungan buat Abhani tentu luar biasa. Catatan tim tuan rumah itupun luar biasa, karena mampu melibas lawannya dengan skor 8-0 untuk bermain di semifinal.
Namun NIAC Mitra sama sekali tidak gentar. Terbukti mental bermain ‘arek-arek’ membawa kemenangan dengan skor 2-0. Tiket pertandingan final aman dalam genggaman.
Di partai puncak NIAC Mitra melawan Liaoning Whowin FC, tim dari Cina. Pertandingan berlangsung sengit dan ketat. Babak pertama selesai dengan skor 1-1, babak kedua situasi tidak berubah. Alhasil laga harus melewati adu penalti.
Lagi-lagi mental jadi penentu, karena NIAC Mitra sukses memenangi babak tos-tosan tersebut. Trofi juara Aga Khan Gold Cup 1979 pun masuk dalam genggaman.
Deretan Aktor Terbaik NIAC Mitra
Penggemar sepak bola sejak 1980-an pasti ingat dengan nama-nama tenar ini: Hamid Asnan, Malawing, Riono Asnan, Rudy Keltjes. Ada lagi Wayan Diana, Rae Bawa, Djoko Malis, Syamsul Arifin, Yusuf Male, hingga Dullah Rochim.
Mereka itulah aktor-aktor terbaik NIAC Mitra di lapangan hijau. Para pemain tersebut merupakan generasi pertama dari kedigdayaan klub.
Skuad NIAC Mitra tambah mentereng ketika mendatangkan dua pemain Singapura, yaitu Fandi Ahmad dan David Lee. Belum lagi pemain nasional seperti Tommy Latuperissa dan Yudi Suryata.
Generasi kedua barisan pemain NIAC Mitra juga tidak kalah jago. Nama-nama seperti Jaya Hartono, Ferril Raymond Hattu, Hanafing hingga M Zein Alhadad adalah idola penggemar bola sepak Surabaya. Para pemain jempolan itu didukung dengan kehadiran pelatih kharismatik, M Basri.
“Waktu itu banyak pemain muda didatangkan. Saya pun baru usia 18 tahun saat bergabung,” kata Hanafing dalam sebuah tayangan youtube. Ia bercerita awalnya para pemain muda sulit menyatu dalam tim, tetapi perlahan situasi berubah.
Kekompakan justru jadi ciri khas anak didik Basri yang merupakan mantan polisi itu. Para pemain mulai mengerti keinginan satu sama lain ketika di lapangan.
Melihat kekompakkan anak buahnya itu sampai membuat Wenas memberi julukan tersendiri. Julukan itu adalah ‘Pasukan Serbu’, alasannya karena begitu kehilangan bola, para pemain langsung berlari mengejar bola.
Kehebatan NIAC Mitra mulai surut usai juara pada 1982/1983. Ini berawal dari hengkangnya Fandi Ahmad ke FC Groningen, Belanda. Kepindahan itu ternyata memicu pemain lainnya yang satu persatu ikut berganti kostum.
Situasi itulah yang membuat NIAC Mitra mulai goyah, dari klub papan atas menjadi semenjana, bahkan sudah biasa di dasar klasemen. Perlahan reputasinya terus meredup.
Memilih Bubar
Nama besar NIAC Mitra kerap jadi jaminan membeludaknya penonton tiap kali bertanding. Fakta itu yang tampaknya dimanfaatkan operator Liga untuk membantu klub-klub baru Galatama menarik minat penonton ke stadion.
Musim 1990/1991, operator liga memberlakukan aturan baru tidak ada lagi pembagian divisi. Artinya, semua klub leburjadi satu, termasuk klub baru yang belum pernah mengikuti kompetisi Galatama seperti Summa FC dari Dili dan Makassar Perkasa.
Peleburan itu kemudian terbagi ke dalam tiga wilayah: barat, tengah, dan timur. Kemudian peringkat pertama dan kedua akan bertanding untuk menentukan juara Galatama.
Semua klub di Jawa kecuali NIAC Mitra masuk wilayah tengah. Artinya saat tim wilayah tengah bisa melakoni laga tandang memakai transportasi darat, sebaliknya NIAC Mitra harus mengendarai pesawat. Berat di ongkos!
Selain itu, saat di laga kandang, lawan yang masih tim ‘bau kencur’ menyebabkan animo penonton menjadi berkurang, padahal pemasukan klub dari tiket.
Sebagai bentuk protes akhirnya Wenas memutuskan membubarkan NIAC Mitra. Selain karena berat di ongkos transportasi juga merasa pembagian divisi yang ada tidak mencerminkan semangat prestasi.
Sempat ada tawaran bantuan dari Dahlan Iskan, bos Jawa Pos. Namun Wenas tetap bersikukuh memilih bubar. Kendati Wenas membolehkan Dahlan Iskan meneruskan pengelolaan, tetapi tanpa nama NIAC lagi.
Ia lalu mengusulkan nama Mitra Surabaya FC kepada Dahlan Iskan. Wenas memilih mengubur NIAC Mitra bersama sejarah kehebatannya. Pada masa sekarang setelah melalui beragam perpindahan pengelolaan dan penjualan lisensi, Mitra Surabaya berada di Tenggarong dan berganti nama menjadi Mitra Kutai Kertanegara (Kukar).
Saat ini Mitra Kukar beredar di kompetisi Liga 3, level paling bawah dari strata kompetisi di Tanah Air. Begitulah perjalanan panjang dari klub berlabel ‘Mitra’ ini, yaitu amatir kembali ke amatir.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"