KONTEKS.CO.ID – Di tanah Jawa, bulan Muharram dalam penanggalan Hijriyah bukanlah satu-satunya momen yang diperingati sebagai awal tahun. Masyarakat Jawa memiliki tradisi khas dalam menyambut pergantian tahun, yaitu Malam 1 Suro.
Tradisi ini dipercaya memiliki makna spiritual dan dilakukan dengan berbagai cara yang mengakar kuat dalam budaya Jawa.
Seperti yang dilansir dari beberapa sumber, salah satu aspek yang menonjol dalam tradisi Malam Satu Suro adalah “laku prihatin”.
Tradisi ini mengharuskan masyarakat untuk menjalani malam tersebut tanpa tidur. Mereka diyakini harus berjaga sepanjang malam untuk menghormati roh leluhur dan memohon berkah serta perlindungan di tahun yang baru.
Meskipun kegiatan ini menuntut pengorbanan waktu istirahat, masyarakat Jawa percaya bahwa “laku prihatin” ini membawa keberuntungan dan kebaikan dalam hidup mereka.
Selama menjalankan tradisi Malam Satu Suro, masyarakat Jawa juga melibatkan diri dalam berbagai aktivitas religius dan budaya. Tirakatan, sebuah ritual yang dilakukan untuk mengenang dan mendoakan leluhur, sering dilakukan di malam ini.
Masyarakat berkumpul di rumah-rumah ibadah atau tempat-tempat suci untuk berdoa bersama, menyanyikan kidung atau gending Jawa, dan menghaturkan sesaji sebagai tanda penghormatan kepada roh leluhur.
Sepanjang bulan Suro, masyarakat Jawa meyakini pentingnya bersikap “eling” atau ingat dan waspada. “Eling” mengarahkan manusia untuk tetap ingat akan jati dirinya dan menyadari kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Malam Satu Suro untuk Merenung
Dalam kehidupan yang sibuk dan penuh dengan kesibukan dunia, bulan Suro menjadi waktu yang tepat bagi individu untuk merenung dan menyadari betapa kecilnya diri manusia di hadapan keagungan Tuhan.
Selain itu, “waspada” juga menjadi prinsip yang ditekankan oleh masyarakat Jawa selama bulan Suro. Manusia perlu terjaga dan waspada terhadap godaan-godaan yang dapat menyesatkan.
Ini berarti mengendalikan hawa nafsu, baik dalam bentuk tindakan maupun pikiran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang dijunjung tinggi. Masyarakat Jawa meyakini bahwa mengendalikan hawa nafsu adalah langkah awal dalam mencapai kedamaian batin dan mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa.
Salah satu contoh nyata dari praktik mengendalikan hawa nafsu selama bulan Suro adalah adanya larangan untuk melakukan hajatan pernikahan.
Meskipun pernikahan merupakan momen yang penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, namun bulan Suro dianggap tidak tepat untuk merayakan pernikahan.
Larangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa bulan Suro adalah waktu yang sakral untuk introspeksi dan tidak seharusnya dipenuhi dengan perayaan yang mengarahkan fokus pada kepentingan duniawi semata.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"