KONTEKS.CO.ID – Kerusuhan antara polisi dan warga Dago Elos, Bandung, Jawa Barat, terjadi karena sengkata lahan yang telah terjadi sejak tahun 2019.
Dalam keterangan pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pada Selasa, 15 Agustus 2013, disampaikan bahwa masalah sengketa lahan ini muncul setelah ada gugatan dari keluarga Muller terhadap warga Dago.
Mereka yang diketahui bernama Dodi Rustendi Muller, Heri Hermawan Muller, dan Pipin Sandepi Muller, yang mengaku sebagai keturunan George Hendrik Muller, warga Jerman yang tinggal di Bandung saat kolonial Belanda berkuasa.
Tiga orang yang merupakan satu keluarga itu kemudian menggugat kepemilikan lahan seluas 6,3 hektare di Dago Elos. Tanah tersebut milik mereka berdasarkan surat waris yang mereka pegang.
Gugatan diajukan melalui PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan yang didirikan untuk maju ke pengadilan, menggugat warga, guna mengenyahkan warga Dago Elos dari kampungnya.
“Mereka mengklaim bahwa tanah seluas 6,3 hektare di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka,” kata LBH Bandung dalam keterangan pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Memang tidak semua warga Dago Elos menempati lahan yang diklaim milik kelurga Muller. Tanah yang bersengketan kebanyakan berada di RT 1 dan RT 2 dari RW 2.
“Dulunya di atas tanah itu ada Pabrik NV Cement TEgal Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir dan kebun yang saat ini memang kondisinya sudah sangat jauh berbeda,” kata LBH Bandung.
Saat ini di atas lahan yang bersengketan sudah berdiri Terminal Dago, kantor pos, dan rumah-rumah warga. Tapi tanah itu diklaim berdasarkan dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan kolonial Belanda.
Tanah seluas 6,3 hektare terpecah dalam tiga Verponding. Pada nomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.780 meter persegi. Sertifikat tanah dikeluarkan Kerajaan Belanda pada 1934.
Dengan fakta yang ada saat ini, LBH Bandung menegaskan bahwa hak tanah dari barat itu telah menjadi bagian dari nasionalisasi tanah bekas Belanda.
Bila melihat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tanah tersebut dapat dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya 20 tahun sejak UUPA berlaku.
Dengan klaim kelurga Muller saat ini, tapi nyatanya mereka sudah lebih dari 50 tahun, tidak pernah tercatat melakukan kewajibannya mencatatkan ulang.
Bahkan, menelantarkan begitu saja tanpa menduduki secara fisik tanah tersebut. Dan hingga kini tanah itu telah dijadikan sebagai sumber penghidupan dan tempat tinggal oleh warga kampung Dago Elos.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"