KONTEKS.CO.ID – Aliansi Pemuda Melayu melakukan unjuk rasa di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk menolak relokasi pemukiman warga di Pulau Rempang, yang akan digunakan sebagai kawasan investasi terpadu.
Aksi ini telah digelar sejak Rabu pagi, 23 Agustus 2023. Setidaknya ada 4.000 warga yang akan turun ke jalan untuk mengikuti aksi ini.
Aksi ini digelar dengan tema Aksi Tanpa Relokasi. Warga sebelumnya telah berkumpul di Lapangan Temenggung Abdul Jalam pada pukul 09.00 WIB. Warga kemudian melakukan long marc menuju kantor BP Batam.
Koordinator aksi, Mulyadi membenarkan rencana demo besar-besaran yang akan dilakukan warga di BP Batam. Tidak hanya melibatkan masyarakat kampung tua, tapi juga warga Melayu yang tinggal di berbagai wilayah di Kota Batam.
“Kami akan kumpul di Lapangan Temenggung, lalu bergerak ke BP Batam. Kami ini mendukung pengembangan mega proyek Rempang Eco-City, tapi tidak dengan relokasi,” kata Mulayadi.
Ini bukan aksi yang pertama, warga selalu menggelar aksi untuk menolak relokasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap relokasi ini. Hari ini warga yang melakuan unjuk rasa terlihat mengenakan ikat kepala kuning.
“Kami menolak masyarakat di gusur. Kalau BP Batam digusur silahkan. Moyang kami sudah ada sebelum kemerdekaan,” ujar orator aksi.
Masyarakat Adat Mohon Perlindungan Jokowi
Perwakilan warga Pulau Rempang, Batam, memohon perlindungan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menghentikan rencana relokasi terhadap 16 kampung yang akan digunakan sebagai proyek strategis nasional Rampang Eco City oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama PT Makmur Elok Graha (MEG).
Disampaikan Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang dan Galang, Batam, Gerisman Ahmad, dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2023, rencana relokasi harus dihentikan sementara sampai ada kesepakatan yang isinya memenuhi seluruh hak-hak masyarakat adat.
“Kami sudah menyatakan sikap bahwa kami tidak menolak investasi, kami siap menerima kedatangan PT MEG membangun Pulau Rempang menjadi Rempang Eco City. Tapi kami minta tidak ada relokasi dan hak-hak kami terpenuhi secara adil,” katanya.
Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Pulau Rempang dan Galang tidak ingin ada gejolak besar yang menimbulkan korban akibat relokasi paksa ini. Masyarakat menginginkan ada komunikasi yang lebih intens bersama pemerintah dan pengembang.
“Harus ada pertemuan tiga sisi, pemerintah, pengembang, masyarakat. Mari kita duduk bersama. Jika ini tidak dilakukan saya yakin persoalan ini tidak akan selesai,” katanya.
Empat Poin Permintaan Warga Rempang
Kuasa hukum Kerabat Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rembang, Alfons Leomau menyampaikan, ada 4 poin permintaan warga Rempang kepada Presiden Jokowi terkait dengan proses pengembangan Rembang Eco City tersebut.
Pertama untuk segera dihentikan rencana relokasi dan kegiatan yang mengarah pada proses peralihan hak dan pembangunan di atas Pulau Rempang.
Kedua, melakukan kembali komunikasi dengan membentuk tim mediator agar musyawarah dengan warga Pulau Rempang dengan pemerintah dan pengembang dapat berjalan dengan baik.
Ketiga, menghentikan proses kriminalisasi warga yang hingga kini terus berlangsung oleh Polda Kepri. Kegiatan mengintimidasi warga dengan tuduhan merusak terumbu karang dan lain sebagainya.
Keempat, masaryakat Pulau Rempang meminta oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Menko Polhukam atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, atau Gubernur Provinsi kepulauan Riau, ikut membantu menyelesaikan masalah ini.
“Hali ni perlu dilakukan agar proyek strategis nasional ini tidak dikotori oleh ulah oknum dari BP Batam yang mengambil keuntungan bisnis dan mengabaikan hak-hak rakyat,” ujar Alfons.
Pulau Rempang sudah sejak lama dihungi warga asli suku Melayu dan para perantauan yang menempati 16 kampung di atas lahan dengan luas 17. 000 hektar.
Pulau ini dihuni 7.512 jiwa, dan terbagi dua kelurahan. Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang, dan berada Kecamatan Galang, Batam.
Hampir sebagaian besar warga tinggal di lokasi yang akan dijadian Eco-City. Mereka menolak direlokasi ke Pulau Galang.
Hingga saat ini, di Pulau Rempang masih tinggal suku asli Melayu, suku Orang Laut, suku Orang Darat. Mereka ada sejak tahun 1834. Sebagaian dari mereka juga tersebar di Kampung Tua dengan lahan seluas 1.500 hektare.
Relokasi yang akan dilakukan jelas akan menghilangkan tradisi budaya dan hak-hak tradisional masyarakat asli Melayu di pulau itu.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"