KONTEKS.CO.ID – Sejarah lokalisasi Saritem. Bagi penikmat dunia esek-esek, siapa yang tak kenal dengan lokalisasi Saritem, Kota Bandung, Jawa Barat. Meskipun sudah tutup sejak 2007 lalu, legendanya masih terngiang sampai sekarang.
Kalau Surabaya di Jawa Timur punya “Gang Dolly“, Kota Yogyakarta terkenal dengan “Sarkem”-nya, maka Bandung “berjaya” dengan Saritem.
Bagaimana tidak, Saritem hadir memenuhi hasrat laki-laki sejak zaman pendudukan Belanda. Tepatnya sejak tahun 1838.
Sejarah mencatat, lokalikasi yang berada di Kelurahan Kebonjeruk, Kecamatan Andir, Kota Bandung ini adalah pusat prostitusi yang hadir sejak zaman pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebagian besar para pekerja seks komersial (PSK) yang bekerja di sana berasal dari sejumlah kawasan di Jawa Barat.
Dalam sejarah lokalisasi Saritem, mojang-mojang cantik ini datang ke Saritem bukan karena niat bekerja memenuhi nafsu penjajah. Melainkan mereka tertipu dan dipaksa oleh orang-orang Belanda.
Sejarah Nama Saritem
Seperti yang bisa Anda tebak, nama Saritem memang berasal dari nama seorang mojang Bandung nan cantik.
Kabarnya, Saritem adalah sebuah nama seorang gadis desa khas Kota kembang -sebutan Kota Bandung. Nama aslinya Sari Iteung. Ia merupakan gadis berparas cantik dan berkulit hitam manis.
Namun buku Saritem Uncencored karya Wakhudin berkata lain. Berdasarkan namanya, Saritem terduga berasal dari Jawa Tengah atau Yogyakarta.
Pesona kecantikan Saritem yang mulanya berjualan jamu keliling ini acap kali memikat petinggi alias meneer Belanda di masa itu.
Saking tergila-gilanya, akhirnya petinggi Belanda ini menjadikannya sebagai gundik. Hidupnya pun terangkat, dari awalnya hanya gadis kampung kemudian menjadi Nyonya Belanda.
Naiknya status membuat namanya ikut berubah. Namanya kini menjadi Nyai Saritem.
Selang beberapa tahun menjadi gundik, pembesar Belanda ini meminta Nyai Saritem untuk mencari wanita yang bisa kencan dengan para serdadu Belanda yang masih melajang.
Kebetulan pada saat itu daerah Gardu Jati memang merupakan markas militer Belanda. Dalam menjalankan misinya tersebut, Nyai Saritem mendapat fasilitas sebuah rumah yang cukup besar.
Lambat laun perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak. Saritem mengumpulkan gadis-gadis dari berbagai daerah. Mulai dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang, Garut, dan Indramayu.
Sejak itulah nama Saritem mulai tersohor. Banyak orang yang datang ke rumah bordil yang ia kelola.
Pengunjungnya pun bertambah banyak. Bukan hanya serdadu Belanda yang lajang, tentara lanjut usia pun berdatangan ke tempat Nyai Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga yang datang ke rumah bordil tersebut.
Keramaian itu warga pribumi manfaatkan untuk membuka usaha yang sama. Maka menjamurlah rumah-rumah bordil di kawasan ini sehingga menjadi lokalisasi.
Versi Nyimas Ayu Permatasari
Namun ada juga versi berbeda dari asal-usul kawasan Saritem ini. Versi lain ini bertutur tentang Nyai Saritem yang memiliki nama asli Nyimas Ayu Permatasari.
Ceritanya, Saritem lahir di Parakan Muncang, Sumedang, pada 1840 dan meninggal di Bandung tahun 1920.
Foto-foto cantik berkebaya yang beredar di interet benar adanya adalah Nyimas Ayu Permatasari alias Saritem. Budayawan Sunda, Budi Dalton, pun membenarkan Saritem bernama asli Nyimas Ayu Permatasari.
Menurut Budi Dalton, ia mendapat kesan Saritem jauh dari pandangan negatif dunia hitam prostitusi. Bahkan ia adalah perempuan yang berjuang menyelamatkan wanita tuna susila dari cengkraman muncikari.
Nyimas Ayu Permatasari merupakan istri dari seorang Belanda dan tinggal di daerah Kebon Tangkil, Bandung. Tepatnya berada di sekitar bekas lokalisasi Saritem sekarang.
Ada kisah Saritem rela menggunakan harta suaminya untuk menyelamatkan gadis-gadis Pasundan dari cengkraman paksa germo di kawasan itu.
Kepada Nyimas Ayu, para PSK berkeluh kesah tak pernah berniat bekerja di rumah bordil. Mereka mengaku tertipu oleh orang-orang Belanda.
Kemudian para PSK ini dijampe-jampe agar tak laku lagi. Sehingga para germonya akan memulangkan mereka.
Lokalisasi Saritem Masa Kini
Kini Saritem tinggallah legenda. Pada 2007, Pemkot Bandung menutup lokalisasi ini seiring dengan terbangunnya Pondok Pesantren (Ponpes) Daarut Taubah di kawasan itu.
Sebelum tutup, jumlah rumah bordil di lokalisasi Saritem Bandung mencapai 66 buah. Puluhan rumah bordil itu terhuni oleh 417 PSK. Kemudian para PSK itu dipulangkan ke asal daerahnya masing-masing.
Meskipun sudah tidak beroperasi lagi, jejak lokalisasi ini terus menggeliat. Masih banyak perempuan yang mengais rezeki dengan menjual diri di seputaran kawasan Saritem.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"