KONTEKS.CO.ID – Sejarah perahu pinisi ada dalam artikel di bawah ini. Kapal ini merupakan jenis perahu tradisional hasil teknologi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan desainnya, kapal pinisi memiliki ciri menggunakan dua tiang layar utama dan tujuh buah laya. Sebanyak tiga buah layar di ujung depan, dua di tengah, dan dua sisanaya di buritan atau belakang kapal. Perahu ini memiliki fungsi utama sebagai pengangkut barang antarpulau.
Hingga berita ini termuat, tak ada kejelasan asal-usul dari nama pinisi, tetapi terdapat dua teori mengenai asal-usul penamaan pinisi.
Pertama, teorinya menyebutkan pinisi berasal dari kata Venecia, yakni sebuah kota pelabuhan di Italia. Ada dugaan kata venecia inilah kemudian berubah menjadi penisi menurut dialek Konjo yang selanjutnya mengalami proses fonemik menjadi pinisi.
Tebakan nama kota terkenal di Eropa berdasarkan kebiasaan orang Bugis Makassar yang suka mengabadikan nama tempat terkenal. Atau mempunyai kesan istimewa kepada benda kesayangannya, termasuk perahu.
Lain halnya dengan teori kedua. Teori ini berpendapat nama pinisi berasal dari kata panisi yang memiliki arti sisip.Mappanisi (menyisip). Yakni menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air.
Dugaan tersebut berdasar pada pendapat yang menyatakan bahwa orang Bugis yang pertama menggunakan perahu pinisi. Lopi dipanisi’ (Bugis) artinya perahu yang disisip. Dugaannya dari kata panisi mengalami proses fonemik menjadi pinisi.
Sejarah Bentuk Perahu Pinisi
Untuk bentuk perahu pinisi sendiri terperkirakan merupakan pengembangan dari kapal panjala. Panjala merupakan kapal yang nelayan gunakan untuk menjala atau menangkap ikan, namun nama tersebut kemudian menjadi nama jenis perahu.
Hubungan antara perahu panjala dengan pinisi terlihat dari bentuk lambung perahu pinisi yang memiliki kesamaan dengan perahu panjala.
Mengutip situs Kemendikbukristek, sebelum masuk ke dalam proses pembuatan pinisi, kita terlebih dahulu mengenal sistem menajemen pertukangannya.
Ini karena dalam pembuatan perahu terperlukan sekelompok tukang yang tidak sedikit sehingga diharuskan memiliki pola manajemen yang tertata rapi untuk menjaga keharmonisan dalam komunitas tukang.
Walaupun struktur ini bukan sesuatu yang resmi, namun ketaatan pada sistem dan struktur kerja tetap terpatuhi. Secara sederhana struktur tersebut terdiri dari punggawa atau panrita (kepala tukang), sawi (tukang) yang terdiri sawi kabusu dan sawi pemula, sambalu (pemilik perahu) dan ledeng yang merupakan dewan musyawarah.
Dua unsur terakhir di atas, yaitu sambalu dan ledeng memang tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan perahu. Tetapi mempunyai andil besar dalam pembuatan perahu tersebut. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"