KONTEKS.CO.ID – BRIN mengungkapkan bahwa Pantai Utara Jawa atau Pantura rawan amblesan tanah atau atau land subsidence. Prediksi ini berdasarkan hasil riset terpercaya.
Kekhawatiran itu tersampaikan oleh Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah saat menjadi narasumber Seminar Nasional “Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall)” di Jakarta, belum lama ini.
Ia menjelaskan, bahwa fenomena Pantura rawan amblesan tanah berdasarkan penurunan muka tanah yang terpicu oleh pergerakan material di bawah permukaan.
Lebih lanjut Dwi mengatakan, fenomena itu acapkali berlangsung secara perlahan dan sulit terdeteksi secara langsung di lapangan. Namun memiliki dampak yang signifikan sehingga menjadikannya sebagai bahaya yang tersembunyi atau “silent hazard”.
Pantura Rawan Amblesan Tanah: Silent Hazard
“Proses penurunan tanah ini berjalan sangat lambat dalam order mungkin milimeter hingga sentimeter per tahun, sehingga sulit dikenali di lapangan. Namun dampaknya terasa nyata sehingga kita menyebutnya land subsidence sebagai silent hazard,” bebernya..
Berdasarkan penelitian, land subsidence bukanlah masalah lokal semata. Lebih dari 200 lokasi di 34 negara, khususnya di daerah pesisir, mengalami amblesan tanah.
Penyebabnya dapat berasal dari faktor alami seperti tektonik, kompaksi alami endapan yang masih muda, serta faktor antropogenik. Seperti eksploitasi air tanah berlebihan dan penambahan beban di permukaan.
Daerah rawan amblesan tanah meliputi Pantai Utara Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Endapan-endapan seperti endapan aluvial, endapan danau, gambut, dan tanah organik yang masih muda atau berumur kuarter menjadi kriteria khusus yang rawan terhadap fenomena ini.
Dwi mengutarakan bahwa amblesan tanah tidak hanya terjadi di Pantura, namun potensi serupa mungkin juga mengancam daerah lain di Indonesia di masa mendatang. Pantura Jawa, secara geologi, terdiri dari endapan aluvial berumur muda hingga berumur kuarter, yang meliputi wilayah dari Jakarta hingga Surabaya.
“Jadi rawan amblasan tanah itu bukan hanya di Pantura, tapi mungkin nanti ke depannya kita bisa mengantisipasi juga ada permasalahan yang sama di daerah-daerah lain di Indonesia. Geologi Pantura Jawa secara geologi, Pantura Jawa tersusun oleh endapan aluvial berumur muda, berumur kuarter yang tersebar dari Jakarta, Indramayu, Semarang, Demak hingga ke Surabaya,” katanya menjelaskan.
Amblesan tanah di Pantura Jawa telah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Ini termulai dari tahun 1970-an di Jakarta, 1980-an di Semarang, dan 1985 di Pekalongan. Proses ini telah berlangsung cukup lama dan masih terus berlanjut hingga saat ini.
Satelit Sorot Titik-Titik Amblesan Tanah
Dwi Sarah menambahkan, berdasarkan Pemantauan Global Navigation Satellite System (GNSS) peneliti bisa melihat adanya hotspot titik-titik di kota-kota Pantura yang rawan terhadap amblesan.
Kota-kota itu di antaranya, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Surabaya, dan Sidoarjo.
Sedangkan berdasarkan pemantauan dengan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) pada tahun 2007 hingga 2009 terlihat amblesan tanah di Jakarta cukup tinggi antara 5 hingga 15 cm per tahun. Bahkan sudah muncul fenomena amblesan di Kabupaten/Kota Bekasi dengan laju 2 hingga 3 cm per tahun.
“Pemantauan terkini dari 2015 hingga 2020 menunjukkan adanya perlambatan laju subsidence di Jakarta yaitu ditemukan hingga maksimal 5 cm per tahun. Sementara di daerah Bekasi laju subsidence-nya meningkat hingga mencapai 2 hingga 5 cm per tahun,” sebutnya.
Dwi Sarah juga menyampaikan bahwa tim periset BRIN melakukan investigasi in situ yang mengungkap kondisi bawah permukaan di beberapa daerah. Riset itu memberikan gambaran yang penting terkait fenomena amblesan tanah dan implikasinya.
Di Jakarta Utara, batuan sediment berumur muda yang dominan terdiri dari endapan batu lempung yang tebal dengan sisipan pasir tipis. Meskipun laju amblesannya telah menurun, tetap terlihat adanya amblesan tanah di peta. Ini menandakan potensi terkompaksinya secara alami.
Sementara itu, hasil investigasi di Pekalongan menunjukkan bahwa kondisi bawah permukaannya terdominasi oleh endapan lempung dengan sisipan pasir dan tanah organik, yang secara gradual dari selatan ke utara, menunjukkan penurunan daya dukung dari menengah hingga rendah.
Fenomena amblesan ini tidak hanya terpusat di Kota Pekalongan, tetapi juga telah meluas ke wilayah barat, masuk ke daerah Kabupaten Pekalongan.
“Sedangkan untuk di Semarang dan Demak, hasil penelitian menunjukkan bahwa amblesan tanah didorong oleh faktor alami dan antropogenik. Di Semarang, laju kompaksi alamiah sangat kecil, sehingga amblesan tanah dipicu oleh faktor antropogenik. Di Demak, laju amblesan alami bisa mencapai 2 cm, menunjukkan pengaruh kedua faktor tersebut,” beber Dwi.
Dampak Amblesan Tanah bagi Masyarakat Terdampak
Dwi mengungkapkan, potensi bencana di Pantura akibat amblesan tanah, dengan laju antara 5 hingga 10 cm per tahun, berdampak pada kenaikan permukaan laut sebesar 3-10 mm per tahun.
Ini meningkatkan potensi banjir rob dan kerusakan infrastruktur. Untuk menanggulangi bahaya ini, butuh strategi jangka pendek dan panjang yang perlu terterapkan.
“Strategi jangka pendek mencakup penanggulangan dampak segera seperti banjir. Sementara jangka panjang mempertimbangkan pengurangan laju amblesan. Ini bisa terlakukan melalui kombinasi mitigasi struktural (pembangunan struktur penahan banjir) dan non-struktural (manajemen air, penggunaan air permukaan, zona konservasi air tanah). Serta pemantauan terus-menerus terhadap amblesan tanah dan muka air tanah,” jelasnya.
Temuan riset ini memberikan pandangan mendalam tentang kondisi bawah permukaan dan potensi amblesan tanah di wilayah Pantura. Riset memberikan dasar penting untuk strategi mitigasi dan perlindungan terhadap fenomena amblesan tanah yang mengancam wilayah tersebut. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"