KONTEKS.CO.ID – Pembangunan jaringan 5G di Indonesia masih berada dalam tahap menunggu di tengah ketidakpastian politik. Plus ketidakpastian lelang spektrum frekuensi dan biaya infrastruktur yang tinggi.
Operator telekomunikasi di Tanah Air tampaknya belum siap untuk mengambil keputusan besar terkait pengembangan jaringan 5G.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti kondisi politik yang masih belum menentu, lelang spektrum frekuensi 700MHz, dan mahalnya infrastruktur 5G menjadi kendala utama teknologi 5G.
Ia juga mengingatkan, pendapatan industri telekomunikasi tengah mengalami penurunan. Sementara implementasi 5G memiliki biaya yang lebih tinggi, dan pendapatan yang terhasilkan kemungkinan akan tetap sama.
Karena itu, jika biaya frekuensi tinggi dan tidak ada insentif yang memadai, operator telekomunikasi dapat menunda atau bahkan menghentikan pengembangan jaringan 5G-nya.
Pembangunan Jaringan 5G: Pengalaman India Jadi Pelajaran Berharga
Situasi serupa juga terjadi di India, di mana operator seluler telah memangkas investasi modal (CAPEX) untuk pengembangan 5G.
Bahkan, operator seperti Jio dan Bh Airtel menjual layanan 5G mereka dengan harga setara layanan 4G. Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat terbatas dan tingkat pemanfaatan rendah. Mmeskipun jaringan 5G dapat memberikan manfaat besar untuk Internet of Things (IoT).
Heru menekankan bahwa untuk mendorong operator telekomunikasi membangun infrastruktur 5G secara masif, penting membuat harga frekuensi lebih terjangkau. Terlebih lagi, kondisi industri telekomunikasi saat ini tidak sekuat dekade sebelumnya.
Selain itu, Heru berharap adanya insentif dari pemerintah, baik berupa pengurangan biaya regulasi maupun penurunan biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk perusahaan yang mengadopsi teknologi 5G. Tanpa insentif yang memadai, Indonesia dapat menghadapi tantangan serupa dengan India.
Mendukung Perekonomian dan Menjaga Keseimbangan
Heru menyoroti implementasi 5G akan menjadi layanan mobile baru. Namun pendapatan yang terhasilkan oleh operator kemungkinan sebanding dengan layanan 4G.
Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan yang baik antara biaya, penerimaan pemerintah, dan keuntungan bagi operator dan vendor telekomunikasi.
Menurut riset dari Institut Teknologi Bandung, implementasi jaringan 5G di Indonesia memiliki potensi memberikan kontribusi lebih dari Rp2.800 triliun. Atau setara 9,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030.
Jumlah ini bahkan dapat melonjak menjadi Rp3.500 triliun atau setara 9,8% dari total PDB pada 2035.
Dalam menghadapi tantangan politik, spektrum frekuensi, dan biaya infrastruktur, operator telekomunikasi di Indonesia berhadapan dengan keputusan krusial terkait implementasi jaringan 5G.
Dengan mempertimbangkan pengalaman India dan mengambil pelajaran berharga, harga frekuensi yang bersahabat dan insentif dari pemerintah menjadi kunci keberhasilan 5G di Indonesia. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"