KONTEKS.CO.ID – Hussam al-Attar, 15, adalah “Newton Gaza”. Dia yang menerangi kegelapan Jalur Gaza tempat berlindung jutaan warga Palestina dengan energi angin.
Tak heran, Hussam al-Attar mendapat julukan “Newton Gaza”. Alias penemu listrik untuk masyarakat Gaza yang tengah mengalami embargo listrik, ekonomi, air, dan bahan makanan.
“Saya memikirkan cara untuk menerangi tempat itu. Jadi saya membawa kipas angin dan memasangnya untuk mengubah energi kinetik dari gaya angin menjadi energi listrik,” ungkap Hussam al-Attar, 15, kepada Anadolu, Selasa 19 Maret 2024.
Remaja Palestina ini memang benar-benar memberi pencerahan tentang tempat penampungan pengungsi di Rafah di Jalur Gaza selatan. Al-Attar dan keluarganya melarikan diri ke sana dari serangan Israel yang sedang berlangsung di daerah kantong tersebut.
Hussam menggunakan turbin angin tua untuk menghasilkan listrik. “Para pengungsi di dalam kamp menjuluki saya ‘Newton-nya Gaza’, karena mereka menghargai peran saya dalam menerangi kamp tersebut,” kata Al-Attar.
“Setelah 20 hari kami mengungsi ke Rafah dan listrik padam, serta tidak tersedia sumber energi untuk menerangi tenda pengungsian. Lalu saya berpikir untuk membuat kincir angin untuk menerangi kegelapan kamp,” tuturnya.
Hussam al-Attar Butuh Baterai Listrik
Sejak perang destruktif melawan Gaza dimulai pada 7 Oktober, Israel telah memutus pasokan air, listrik, dan bahan bakar kepada 2,3 juta warga Palestina yang menderita kondisi yang sangat mengerikan akibat blokade selama 17 tahun.
Setelah tekanan internasional, Israel mengizinkan bantuan kemanusiaan yang sangat terbatas ke Gaza, termasuk bahan bakar untuk kebutuhan kemanusiaan tetapi tidak untuk listrik, melalui penyeberangan Rafah – yang diperuntukkan bagi individu.
“Saya memikirkan cara menerangi tempat itu. Jadi saya membawa kipas angin dan memasangnya untuk mengubah energi kinetik dari gaya angin menjadi energi listrik,” kata Al-Attar saat meninjau proyeknya di kamp dekat perbatasan Mesir.
Upaya awalnya untuk menyalakan kamp gagal dan butuh tiga kali upaya dan waktu agar idenya berhasil.
Turbin yang ia gunakan untuk menghasilkan listrik terpasang di salah satu tiang logam di dalam kamp. “Saya berhasil menerangi tempat itu sesekali, karena tempat itu menyala ketika ada angin. Dan ketika angin melambat, kegelapan menguasai kamp,” katanya.
Rafah adalah salah satu daerah terpadat di Jalur Gaza, setelah tentara Israel memaksa warga Palestina dari wilayah utara, tengah, dan selatan untuk mengungsi ke sana. Ini adalah tempat sekitar 1,4 juta warga Palestina tinggal, menurut Walikota Rafah, Ahmed al-Soufi.
Al-Attar berharap mendapatkan pasokan untuk mengembangkan proyek tersebut. Khususnya baterai yang memungkinkannya menyimpan energi dan menggunakannya pada saat tidak ada angin.
Dia mengatakan, Pasar Rafah kekurangan baterai untuk proyek tersebut. Tapi dia bersikeras untuk terus mengembangkan proyeknya, meskipun masa pengoperasiannya terbatas pada waktu dengan angin kencang.
“Saya langsung menyambungkan instalasi listrik hingga sisa perbekalan dan baterai tersedia untuk menyelesaikan proyek dan mampu menyimpan listrik,” ujarnya.
Al-Attar mencatat bahwa sebelum pecahnya perang, ia mampu menciptakan lampu bawah air dan ritsleting pengaman untuk penutupan pintu nirkabel. Selain kipas angin untuk mendinginkan suasana musim panas.
Sejak 7 Oktober, Israel telah melancarkan serangan dahsyat di Jalur Gaza, menyebabkan puluhan ribu korban jiwa warga sipil. Sebagian dari para korban adalah anak-anak dan perempuan.
Serangan gencar Israel telah menyebabkan Tel Aviv muncul di hadapan Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"