KONTEKS.CO.ID – Konsumsi mikroplastik Indonesia tinggi. Negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Filipina menduduki peringkat teratas dalam daftar konsumsi mikroplastik per kapita global.
Sementara China, Mongolia, dan Inggris berada di peringkat teratas negara-negara yang menghirup mikroplastik paling banyak. Hal ini terungkap menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh para peneliti Cornell.
Studi ini memetakan serapan mikroplastik di 109 negara. Penelitian, yang terbit pada 24 April di jurnal Environmental Science & Technology, berdasarkan pada model data yang sudah ada.
Model data ini memperkirakan berapa banyak mikroplastik yang tanpa disadari manusia makan dan hirup sebagai akibat dari sampah plastik yang tidak terolah, terdegradasi dan menyebar ke lingkungan.
Untuk memperkirakan konsumsi manusia secara lebih komprehensif, studi Cornell memperhitungkan kebiasaan makan, teknologi pemrosesan makanan, demografi usia, dan laju pernapasan di setiap negara. Semua faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan cara penduduk di setiap negara mengonsumsi mikroplastik.
“Penyerapan mikroplastik di tingkat negara merupakan indikator penting dari polusi plastik dan risiko kesehatan masyarakat,” kata Fengqi You, Profesor Roxanne E dan Michael J Zak di bidang Teknik Sistem Energi, yang turut menulis penelitian ini bersama mahasiswa doktoralnya. Xiang Zhao.
“Pemetaan global yang komprehensif mendukung upaya mitigasi polusi lokal melalui peningkatan pengendalian kualitas air dan daur ulang limbah yang efektif,” kata mereka, mengutip laman cornell.edu, Kamis 30 Mei 2024.
Studi ini menilai penyerapan makanan dengan mengumpulkan data konsentrasi mikroplastik di subkategori kelompok makanan utama. Seperti buah-buahan, sayuran, protein, biji-bijian, produk susu, minuman, gula, garam, dan rempah-rempah.
Model tersebut juga menggunakan data yang merinci berapa banyak makanan yang dikonsumsi di berbagai negara. Misalnya, konsumsi garam meja per kapita di Indonesia dan Amerika hampir sama. Namun konsentrasi mikroplastik dalam garam meja di Indonesia 100 kali lebih tinggi.
Konsumsi Mikroplastik Indonesia Cuma Kalah dari Malaysia
Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi sekitar 13 gram mikroplastik per bulan. Ini lebih banyak daripada negara lain, dengan sebagian besar partikel plastik berasal dari sumber air seperti makanan laut.
Jumlah tersebut merupakan peningkatan konsumsi mikroplastik harian sebesar 59 kali lipat dari tahun 1990 hingga 2018, rentang tanggal yang tergunakan untuk model tersebut.
Secara keseluruhan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Malaysia mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan. Jumlah itu lebih banyak daripada negara lain. Dan sebagian besar partikel plastik berasal dari sumber air seperti makanan laut.
Asupan mikroplastik dari makanan di AS terperkirakan sekitar 2,4 gram per bulan. Sedangkan yang terendah adalah Paraguay sebesar 0,85 gram.
Data konsentrasi mikroplastik di udara, demografi usia, dan laju pernapasan manusia digunakan untuk menghitung mikroplastik yang terhirup.
Penduduk China dan Mongolia menduduki peringkat teratas dengan menghirup lebih dari 2,8 juta partikel per bulan. Penduduk AS menghirup sekitar 300.000 partikel per bulan.
Hanya penduduk di Mediterania dan wilayah sekitarnya yang bernapas lebih sedikit, dengan negara-negara seperti Spanyol, Portugal, dan Hongaria menghirup sekitar 60.000 hingga 240.000 partikel per bulan.
“Industrialisasi di negara berkembang, khususnya di Asia Timur dan Selatan, telah menyebabkan peningkatan konsumsi bahan plastik. Timbulan sampah, dan serapan mikroplastik oleh manusia. Sebaliknya, negara-negara industri mengalami tren sebaliknya, terdukung oleh sumber daya ekonomi yang lebih besar untuk mengurangi dan menghilangkan sampah plastik,” beber You, dosen senior di Cornell Atkinson Center for Sustainability.
Perlu Pengurangan Sampah Plastik di Perairan
Menurut penelitian tersebut, pengurangan sampah plastik di perairan sebesar 90% dapat menyebabkan penurunan paparan mikroplastik secara signifikan. Potensinya mencapai 51% di negara maju dan 49% di kawasan industri maju.
Studi ini diterbitkan setelah pertemuan komite internasional yang merundingkan Perjanjian Plastik PBB pada tanggal 23-29 April. Yakni, sebuah perjanjian yang mengikat secara hukum yang akan menetapkan aturan global seputar produksi dan pembuangan plastik.
Perjanjian tersebut akan selesai pada akhir tahun ini, dengan fokus pada kolaborasi internasional untuk mengurangi mikroplastik di lingkungan laut.
“Membersihkan sistem air permukaan global adalah sebuah proses maraton yang dipengaruhi oleh kondisi industri dan sosial ekonomi setempat,” kata Zhao.
“Namun, peta global kami yang menunjukkan titik-titik panas mikroplastik di perairan dapat memulai perjalanan ini, dan penelitian kami menyoroti bahwa mengatasi serapan mikroplastik memerlukan pendekatan multifaset, termasuk solusi pengemasan yang berkelanjutan, menegakkan peraturan pengelolaan limbah yang ketat, dan memajukan teknologi pengolahan air,” tambahnya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"