KONTEKS.CO.ID – Pakar cuaca BMKG mengungkap suhu permukaan Jakarta naik tajam 1,6 derajat Celsius. Hal ini berdampak terhadap cuaca Ibu Kota.
Praktisi Cuaca dan Iklim Ekstrem BMKG, Siswanto mengatakan, suhu permukaan Jakarta naik tajam dalam 130 tahun terakhir. Kenaikannya lebih kuat ketimbang laju kenaikan suhu global dan regional.
Secara umum, jelas dia, iklim Jakarta telah berubah signifikan seiring pertumbuhan kota. Kondisi itu berimplikasi terhadap peningkatan suhu permukaan sebesar satu derajat celsius. Kenaikannya dapat memacu ekstremitas hujan sebesar 14%.
Dampaknya, curah hujan Jakarta kategori ekstrem menunjukkan tren peningkatan signifikan dengan sifat curah hujan yang mengalami perubahan.
“Semakin deras, durasinya lebih pendek. Peningkatan curah hujan pagi hari dan pergeseran hujan siang ke malam hari. Serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan pada musim hujan,” beber Siswanto, dalam webinar PRIMA’s Talk bertajuk “Urban climate of Jakarta city: from the last 130 years to the end of 21st century”, akhir Mei kemarin.
Iklim urban terdefinisikan sebagai keadaan iklim yang sangat berbeda dengan wilayah rural sekitarnya. Ini tersebabkan iklim karakteristiknya berbeda antara kota dengan rural. Hal itu lantaran adanya perkembangan perkotaan.
Salah satu pemicu karakteristiknya adalah urbanisasi, perubahan lanskap. Dan penggunaan semua properti di dalam perkotaan, seperti energi, tata kelola air, dan tata kelola lahan.
Suhu Permukaan Jakarta Terpantau Satelit Landsat
Berdasarkan hasil pencitraan satelit Landsat untuk Jakarta pada 1972, kawasan terbangun di Jakarta masih terbatas, vegetasi lebih dominan.
Demikian juga pada 1982, vegetasi masih terlihat dominan hijau. Suhu belum banyak berubah dengan rata-rata 28 derajat Celsius, meskipun suhu maksimumnya bertambah rata-ratanya dari 31,7 derajat menjadi 32,2 derajat Celsius.
“Untuk suhu minimumnya pun masih tidak terlalu jauh perubahannya. Yakni, dari 24,3 derajat menjadi 24,7 derajat Celcius,” sebut Siswanto, mengutip laman BRIN, Kamis 6 Juni 2024.
Namun 15 tahun kemudian, tepatnya pada 1997, terlihat warna merah atau kawasan hunian sangat ekspansif. Diikuti perubahan suhu udara dari rata-rata menjadi 28,4 derajat naik sekitar 0,4 derajat Celsius. Dengan suhu maksimum yang tidak banyak perubahan dan suhu minimum malam hari 25 derajat Celsius.
Tahun 2005, perkembangan kawasan hunian Jakarta semakin ekspansif hingga 2014. Terlihat kawasan hunian semakin padat di mana-mana hingga keluar batas Jakarta.
“Perubahan lingkungan kompatibel dengan perubahan iklim atau perubahan suhu, dalam hal ini yang terjadi di Jakarta,” tutur Siswanto.
Ia memberikan gambaran pemahaman tentang lingkungan perkotaan. Lingkungan ini banyak terdominasi oleh bangunan baik perumahan maupun komersial dengan kepadatan tinggi.
Kemudian permukaan yang beraspal dan faktor lainnya yang menciptakan lanskap unik tersendiri.
Suhu DKI dari Zaman VOC
Siswanto merinci Jakarta dari waktu ke waktu terus berubah. Di kisaran 1675-1725 terlihat permukiman Jakarta belum padat, serta masih nampak gunung-gunung.
Setelah VOC masuk sekitar tahun 1755-1785, Jakarta mulai berkembang, gunung-gunung sudah mulai tidak kentara. Tahun 2018, gunung-gunung atau perbukitan yang tadinya terlihat itu sudah menghilang.
“Kita akan terus mengalami perubahan itu, tetapi yang pasti perubahan lanskap dan lingkungan akan menghasilkan konsekuensi. Salah satunya konsekuensi terhadap iklim,” tandasnya.
Mengacu Laporan IPCC 2013 (AR5), kata Siswanto, aktivitas manusia sangat mungkin menjadi penyebab meningkatnya setengah rata-rata suhu permukaan global yang telah diamati dari 1951 hingga 2010.
Peningkatan ini memberi dampak langsung terhadap pemanasan global, di mana peningkatan kapasitas atmosfer menahan air sekitar 7% per satu derajat Celsius dari tiap pemanasan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kandungan uap air di atmosfer.
“Sehingga hal ini mempengaruhi siklus hidrologi, khususnya karakteristik curah hujan. Mulai dari jumlah, frekuensi, intensitas, durasi, jenis dan kejadian ekstrem,” urainya.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Albertus Sulaiman mengatakan, perubahan itu memerlukan penanganan serius. Terutama para peneliti yang mumpuni dalam sains iklim dan atmosfer. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"