KONTEKS.CO.ID – Setelah adanya warning dari WHO, kini Indonesia mulai mewaspadai bakteri kebal antibiotik yang bisa menimbulkan kematian.
Berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penggunaan antibiotik yang tidak bijak memicu munculnya bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Kejadian yang tersebut sebagai resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) ini berdampak pada semakin sulitnya pengobatan dan perawatan pasien.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, dr.Azhar Jaya, mengungkapkan data kejadian resistensi antimikroba yang rumah sakit sentinel laporkan. Data tersebut mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik.
“Data AMR di Indonesia secara khusus kami dapat dari data yang terlaporkan oleh rumah sakit sentinel yang tertetapkan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan. Di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68 persen,” ungkap Azhar di Jakarta, melansir Rabu 18 September 2024.
“Kemudian, di tahun 2023 pada 24 rumah sakit sentinel site sebesar 70,75 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen. Angka ini menunjukan, adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae,” tuturnya.
Jenis Bakteri Kebal Antibiotik di Indonesia
Kedua bakteri ini dapat menyebabkan kematian dan menyerang seluruh sistem organ dalam tubuh manusia.
“Agar data ini dapat mewakili Indonesia, maka untuk pengukuran ESBL, pada akhir 2024 akan kami lakukan pengukuran pada 56 rumah sakit sentinel. RS ini tersebar di wilayah Indonesia barat, tengah dan timur. Juga meliputi rumah sakit milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta,” katanya.
Data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) yang diperbarui pada 2022 menyebutkan, resistensi antimikroba pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui pemeriksaan spesimen darah dan urine pasien yang terinfeksi AMR.
Dari laporan rumah sakit yang Kemenkes terima, penanganan pasien dengan infeksi resistensi antimikroba membutuhkan upaya yang besar. Sebab, bakteri yang kebal terhadap antibiotik memengaruhi perawatan pasien.
“Merawat pasien dengan infeksi AMR sangat sulit karena beberapa faktor. Yang pertama adalah pilihan obat terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal dan patogen bisa menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada,” jelas Dirjen Azhar Jaya.
“Kedua, penegakan diagnosis menjadi lambat. Butuh pemeriksaan kultur dan uji kepekaan dalam menegakkan diagnosis pasien infeksi lama. Di mana untuk pemeriksaan tersebut memerlukan waktu sehingga memperlambat perawatan yang tepat. Kemudian, dibutuhkan komitmen pimpinan rumah sakit untuk optimalisasi fungsi laboratorium,” paparnya.
Faktor ketiga terkait efek samping. Pengobatan resistensi antimikroba sering kali memerlukan antibiotik dengan efek samping yang berat atau risiko toksisitas.
Keempat, penyebaran infeksi AMR. Infeksi resistensi antimikroba dapat menyebar cepat. Terutama di lingkungan rumah sakit sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian infeksi yang ketat.
“Kelima, biaya tinggi. Karena perawatan AMR membutuhkan waktu yang lama (Length of Stay/Los memanjang) sehingga pengobatan AMR menjadi sangat mahal. Produktivitas pasien dan keluarga penunggu menurun, serta membebani pasien dan jaminan kesehatan,” sambung Azhar. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"