KONTEKS.CO.ID – Sebagai negara yang mengadopsi sistem demokrasi parlementer di bawah pemerintahan monarki konstitusional, Malaysia seringkali memasuki krisis politik saat pergantian Perdana Menteri dan pembentukan kabinet. Hal ini berimbas terhadap stabilitas politik dan mempengaruhi iklim investasi dan kepastian usaha. Serupa tapi tidak sama dengan Indonesia, yang menganut sistem presidensil.
Persamaan dua negara tersebut adalah pergantian kepemimpinan nasional sering kali menimbulkan gesekan yang tidak perlu, baik diantara para pendukung ataupun tingkat elit. Dan para pelaku usaha yang telah berinvestasi turut menjadi korban ‘dag dig dug’ karena kekuatiran pergantian kebijakan yang berimbas terhadap investasi mereka.
Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang gadang menjadi Ibu Kota baru republik ini salah satu contoh yang berpotensi menjadi proyek mangkrak jika presiden yang baru terpilih tidak ingin meneruskan kebijakan pemindahan Ibu Kota.
Singapura: Stabilitas Adalah Segalanya
Hal ini amat jauh beda dengan tetangga kedua negara yang mini. Untuk menjaga stabilitas dan pembangunan yang berkelanjutan, -negara yang oleh Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie dijuluki little red dot tersebut- Singapura lebih mementingkan stabilitas nasional diatas segalanya. Pergantian kepemimpinan nasional atau perebutan kekuasaan harus tunduk kepada stabilitas.
Tak heran meskipun Perdana Menteri Lee Hsien Loong masih menjabat, dirinya telah menunjuk Menteri Keuangan Lawrence Wong sebagai penerusnya. Pemilihan calon penerus ini tidak terjadi dalam waktu singkat dari hasil lobi antar elit partai. Dari empat calon kandidat yang digadang gadang, akhirnya terpilih satu yang terbaik. Proses ini berlangsung selama empat tahun melalui penyaringan yang ketat.
Penyaringan dan tinjauan indeks kinerja yang ketat diberlakukan pada empat kandidat ini. Lee Hsien Loong juga mengamati perkembangan geopolitik dimana tampaknya akan terjadi perubahan tata dunia dari bentuk unipolar ke multipolar dan posisi Amerika semakin goyah menghadapi Cina dan Rusia. Dan ini berpengaruh terhadap positioning Singapura dalam kancah dunia. Pemilihan Lawrence Wong yang memiliki latar belakang keuangan mempertegas Singapura akan memainkan kartu truf investasi dalam berhubungan dengan negara lain.
Tak salah pemilihan Wong ini, ia merupakan pemegang Double Degree dan PhD Universitas Harvard jurusan ekonomi. Pun, hasil skornya tertinggi dalam kriteria karakter, kinerja, integritas, kualitas dan hasil kerja. Ada pun soal kesalehannya dalam menjalankan keyakinan tidak masuk kriteria.
Bayangkan saja, Lawrence Wong memiliki skor NOL untuk kategori kegagalan, wanprestasi, tuduhan, peringatan atau penalti berdasarkan 15 kriteria dibawah ini:
1. Pengaduan Masyarakat
2. Pelanggaran lalu lintas
3. Panggilan umum
4. Pernyataan kebencian rasial
5. Korupsi atau suap
6. Kasus pengadilan hukum
7. Penipuan pajak
8. Suara publik
9. Kebugaran jasmani
10. Kehidupan Pribadi
11. Penyalahgunaan kekuasaan
12. Pemeriksaan FBI, CIA dan Interpol
13. Popularitas pemimpin dunia
14. Prestasi politik
15. Pidato publik atau media
Untuk stok sosok seperti ini di Malaysia atau Indonesia, silakan cari sendiri. Saat ini Perdana Menteri Lee sudah mulai menyerahkan tugas dan akan segera mengosongkan posisinya. Baik Lee atau pun Wong memiliki pandangan sama tentang negara mereka. Saat ini Singapura merupakan negara maju yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) amat besar dan dengan cadangan emas total 154,76 ton yang bernilai 3 Triliun USD. Dan hebatnya, semua dicapai cukup dengan pergantian tiga Perdana Menteri. Sejak negara little red dot ini melepaskan diri dari Malaysia.
Bagaimana dengan Malaysia?
Hingga saat ini drama politik Melayu dan tontonan saling sikut menuju puncak masih berlangsung. Semua kandidat atau tokoh yang akan menjadi kandidat Perdana Menteri memiliki reputasi yang merusak KPI Singapura dan negara Melayu ini sekarang masuk dalam jebakan pendapatan kelas menengah (Middle Income Trap).
Sekitar empat puluh tahun silamatau tepatnya tahun 1982, Perdana Menteri Lee Kuan Yew mengatakan, “Malaysia adalah negara yang indah. Namun mengalami malapetaka karena dua hal; rasisme dan politik rasial.” (*)
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"