KONTEKS.CO.ID – Google hapus game perbudakan di Playstore usai viral diprotes keras warga Brasil. Untuk penjelasan selengkapnya ada dalam artikel berikut.
Google hapus game perbudakan dengan nama Slavery Simulator di Playstore usai viral diprotes keras warga Brasil yang mengatakan permainan itu merupakan bentuk rasisme.
Raksasa teknologi Google telah menghapus aplikasi video game yang memungkinkan pemainnya untuk membeli, menjual, dan menyiksa ‘budak’ virtual hitam, setelah protes rasis di Brasil.
Dikenal sebagai ‘simulator perbudakan’ atau Slavery Simulator, ini adalah video game dalam bahasa Portugal di mana pemain dapat memperdagangkan budak serta menyusun strategi untuk mencegah penghapusan budak, untuk mendapatkan kekayaan.
Menurut Kejaksaan Brasil seperti dilaporkan Washington Post yang melansir media setempat, pihaknya telah membuka penyidikan terhadap ujaran kebencian terkait game yang telah diunduh ratusan pengguna tersebut.
Namun, pengembang aplikasi tersebut membantah tuduhan tersebut dan bersikeras mengutuk segala bentuk perbudakan sambil menjelaskan bahwa game tersebut murni untuk tujuan hiburan.
Setelah menghapus aplikasi tersebut dari Playstore, Google menjelaskan dalam sebuah pernyataan bahwa aplikasi yang mempromosikan kekerasan atau kebencian terhadap kelompok orang atau individu, karena warna kulit atau asal etnis, dilarang keras di platform tersebut.
Perusahaan meminta pengguna untuk melaporkan konten yang menyinggung.
Sementara itu, Kementerian Kesetaraan Ras Brasil meminta Google mengambil langkah untuk memfilter konten yang mengandung ujaran kebencian, intoleransi, dan rasisme.
Termasuk meminta raksasa teknologi dunia untuk menghindari penyebaran nilai-nilai negatif dengan begitu mudahnya tanpa moderasi.
Rasisme di Brasil masih menjadi isu. Itu adalah negara terakhir di Amerika yang menghapus perbudakan pada tahun 1888. Lebih dari 56 persen populasi di negara itu adalah orang Afro-Brasil.
Anggota Parlemen sayap kiri, Renata Souza, mengatakan Brasil adalah salah satu negara dengan pengguna terbanyak di platform Google.
Dia mengklaim bahwa ada aplikasi yang mengingatkan pada era perbudakan di mana pemain diberikan bonus jika mereka melakukan banyak penyiksaan.
“Ini bukan hanya rasisme tetapi juga fasisme. Di Brasil, kami memiliki gerakan neo-fasis yang tidak takut menonjolkan diri karena kurangnya regulasi di jejaring sosial,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"