KONTEKS.CO.ID – Orang Jepang baik pria maupun wanita saat ini banyak yang memilih tidak menikah hingga tidak ingin memiliki anak.
Menukil The Mainichi yang terbit pada 7 Juli 2023, berdasarkan survei terbaru di Jepang oleh Meiji Yasuda Research Institute Inc. pada Maret 2023 secara online, mengungkapkan perbedaan signifikan dalam harapan keuangan pria dan wanita ketika mencari pasangan hidup.
Survei ini melibatkan 7.453 responden dari seluruh Jepang dalam rentang usia 18 hingga 54 tahun. Dari jumlah tersebut, 4.400 orang belum menikah sementara 3.053 telah menikah.
Tujuan survei online ini yaitu mengeksplorasi harapan finansial yang berkaitan dengan pernikahan, di antaranya adalah pendapatan tahunan, tabungan, dan pandangan tentang pasangan hidup.
Salah satu temuan paling mencolok yakni perbedaan antara harapan pria dan wanita terkait pendapatan tahunan pasangan mereka.
Pria Jepang berharap memiliki rata-rata pendapatan tahunan sekitar 3,73 juta yen (sekitar Rp300 juta). Sementara wanita berharap pasangan mereka memiliki pendapatan rata-rata sekitar 5,5 juta yen (Rp570 juta). Ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam persepsi finansial pria dan wanita terhadap pernikahan.
Berdasarkan wawancara @TheJapanReporter yang tayang di YouTube pada 13 Agustus 2023 terhadap Toko Shirakawa, seorang peneliti masalah angka kelahiran sekaligus profesor di Sagami Women’s University, terdapat sejumlah alasan mengapa wanita tidak ingin menikah.
“Wanita berkata bahwa ‘aku akan memilih pria normal’ dan mereka tidak sungguh-sungguh berpikir pria yang kaya raya. Yang mereka maksud dengan pria normal yaitu pria normal pada Era Showa (1926-1989),” ungkap Toko Shirakawa.
Sekadar informasi, pendapatan seorang pria normal pada Era Showa (1926-1989) menghasilkan lebih dari 6 juta yen per tahun. Saat ini wanita Jepang berpikir bahwa pria normal di Jepang sangat sedikit jumlahnya.
Toko Shirakawa juga mengungkapkan upah pekerja di Jepang tidak pernah meningkat sejak 1991 dan saat ini bahkan lebih rendah dari Korea Selatan.
Budaya kerja Jepang yang menguras waktu dan tenaga membuat mereka tidak memiliki waktu untuk keluarga maupun kehidupan pribadi.
Penghasilan Menurun
Pernikahan di Jepang bermakna sama dengan memiliki anak. Hal inilah yang membuat wanita Jepang dituntut harus mengurus sendiri segala kebutuhan anak dan rumah tangga.
Penghasilan wanita pekerja di Jepang akan mengalami penurunan 60 atau 70 persen setelah mereka melahirkan.
“Wanita hanya dapat bekerja pada pekerjaan non reguler setelah melahirkan sehingga pernikahan merupakan hal yang riskan,” sambung Toko Shirakawa.
Kembali pada survei Meiji Yasuda Research Institute Inc., hasilnya mengungkapkan bahwa terdapat kesenjangan signifikan dalam harapan tabungan pasangan.
Pria mengharapkan pasangan mereka memiliki tabungan sebesar 1 juta hingga 2 juta yen (Rp100 juta hingga Rp200 juta). Sementara wanita menginginkan tabungan sebesar 5 juta hingga 6 juta yen (sekitar Rp500 juta hingga Rp600 juta).
Selain itu, survei ini mencatat tren yang menarik terkait pernikahan di Jepang. Sejumlah besar responden yang belum menikah (75,2 persen pria dan 68,4 persen wanita) mengatakan bahwa mereka saat ini tidak menjalin hubungan.
Meskipun demikian, lebih dari 80 persen dari mereka masih berharap untuk menikah suatu hari nanti.
Tren ini juga mencerminkan dalam rasio belum menikah seumur hidup di Jepang, yang menunjukkan bahwa 28,3 persen pria dan 17,8 persen wanita dalam sensus nasional 2020 tidak pernah menikah, dan tren ini terus meningkat.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"