KONTEKS.CO.ID – Ibu hamil operasi sesar di Jalur Gaza Palestina tanpa bantuan anestesi, baik obat maupun suntikan. Ini salah satu dampak pemblokiran total yang Zionis Israel lakukan.
Wanita hamil adalah salah satu kelompok yang paling rentan terkena dampak kehancuran total sistem layanan kesehatan di Jalur Gaza akibat perang Israel-Hamas Palestina yang sedang berlangsung.
Gaza saat ini menjadi rumah bagi 50.000 perempuan hamil. “Sebanyak 5.500 perempuan terperkirakan akan melahirkan pada bulan mendatang dengan total lebih dari 160 kelahiran per hari,” menurut UNFPA, Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB, melansir Al Arabiya, Minggu 5 November 2023.
Masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut telah kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, obat-obatan, dan layanan kesehatan yang layak di wilayah kantong yang teranda perang tersebut.
Di tengah serangan yang sedang berlangsung, kehamilan, yang merupakan peristiwa hidup yang menggembirakan bagi banyak orang, dibayangi oleh kehancuran yang melanda wilayah tersebut sejak Israel dan Hamas berperang pada 7 Oktober.
Berbicara kepada Al Arabiya English, Hisham Mhanna, Juru Bicara Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Gaza, mengatakan, ribuan wanita, termasuk istrinya, di Gaza sedang menunggu untuk menyambut anak-anak mereka di tengah keadaan yang mengerikan.
“Biasanya, kami merayakan setiap pencapaian luar biasa ini dalam hidup kami,” kata Mhanna kepada Al Arabiya English. “Saya rasa tidak ada bayi yang boleh lahir dalam keadaan seperti itu.”
Puluhan Rumah Sakit di Gaza Tak Beroperasi
Lebih dari sepertiga rumah sakit di Gaza –12 dari 35– dan hampir dua pertiga klinik layanan kesehatan primer –46 dari 72– telah tertutup karena kerusakan akibat serangan atau kekurangan bahan bakar, menurut UNFPA.
Banyak rumah sakit yang masih berfungsi telah mengubah bangsal bersalin menjadi ruang gawat darurat atau ruang operasi. Para dokter harus mengambil keputusan sulit dengan menolak pasien dan merujuk mereka ke rumah sakit lain, yang terkadang tidak aman untuk terjangkau.
“Ibu hamil pada tahap ini dianggap rentan. Mereka membutuhkan perawatan medis,” kata Mhanna, seraya menambahkan bahwa calon ibu membutuhkan “pikiran yang tenang” untuk mempersiapkan persalinan.
“Suara ledakan, menghabiskan sepanjang malam dalam kegelapan, tidak dapat memanggil ambulans kapan pun Anda membutuhkannya, mengingat masalah komunikasi dan Internet,” beber Mhanna, menggambarkan situasi yang wanita hamil hadapi di sana.
Selain dampak psikologis, kekurangan bahan bakar dan masalah transportasi telah menyebabkan banyak perempuan hamil tidak memiliki akses yang aman terhadap perawatan medis yang sangat mereka butuhkan.
Salah satu wanita hamil yang tidak mendapatkan perawatan medis yang terperlukan adalah Reham Rashed, 24 tahun.
“Saya hamil dua bulan, dan saya pernah mengalami pendarahan sebelumnya. Ada pengobatan yang harus saya jalani, tapi saya tidak bisa menjalaninya,” kata Rashed dalam rekaman audio yang UNFPA bagikan kepada media.
Calon ibu ini berlindung bersama keluarganya di Rumah Sakit al-Shifa, begitu pula ribuan warga Gaza lainnya.
Ia juga mengatakan dia tidak mengonsumsi asam folat, suplemen yang dibutuhkan wanita hamil untuk membantu mencegah cacat lahir besar pada otak dan tulang belakang bayi, menurut CDC.
Meskipun perempuan dihadapkan pada kekurangan suplemen dan vitamin yang dibutuhkan selama kehamilan, memanggil ambulans juga bukan pilihan karena terputusnya komunikasi dan rusaknya jalan.
Juru bicara ICRC itu menjelaskan, ia harus menyimpan cadangan bahan bakar di mobilnya jika ia perlu mengantar istrinya ke rumah sakit kapan saja atau pergi ke apotek untuk mendapatkan obat-obatan ketika istrinya akan melahirkan.
Melahirkan di Bawah Reruntuhan
Serangan tersebut telah menewaskan banyak wanita hamil dan janin mereka. Beruntung, Islam Hussein, 35, adalah salah satu yang selamat.
Dia sedang berada di rumahnya bersama ibu, putra, dan putrinya ketika serangan Israel menghantam gedung di sebelah mereka.
“Mereka mengebom rumah di sebelah kami. Lalu kami tidak tahu apa yang terjadi. Saya merasakan puing-puing di sekujur tubuh saya dan saya tidak bisa bergerak. Saya mulai berteriak, berteriak… sampai tim penyelamat menemukan saya. Mereka akhirnya mendengar dan datang dan membawa saya keluar,” jelasnya dalam rekaman audio UNFPA.
Sementara putranya tewas dalam serangan itu, Hussein selamat bersama putrinya dan bayinya yang baru lahir. Dokter segera membawanya ke operasi caesar darurat 10 hari sebelum tanggal kelahirannya karena denyut nadi bayinya lemah.
Ibu Hamil Operasi Sesar Kekurangan Pasokan Medis, Anestesi
Laporan mengenai prosedur persalinan, termasuk operasi sesar tanpa anestesi, telah muncul menyoroti kekurangan pasokan medis yang drastis di Gaza.
Mhanna bercerita tentang para ibu yang harus menunda jadwal persalinan karena tidak tersedianya ruang operasi dan pasokan medis yang mereka perlukan.
“Kami mendapat laporan mengenai hal ini. Kami telah mendengar cerita. Saya mengenal beberapa ibu yang harus menunda persalinannya karena tidak tersedianya ruang operasi. Rumah sakit yang tertunjuk untuk menerima kasus tersebut atau karena kurangnya perlengkapan medis yang terperlukan seperti anestesi. Jadi, ya, itu terjadi di Gaza,” katanya.
Dia juga membenarkan laporan mengenai beberapa amputasi tanpa obat-obatan seperti anestesi atau obat penghilang rasa sakit. Dia menambahkan bahwa ini adalah “keputusan yang sangat sulit yang harus tim medis ambil”. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"