KONTEKS.CO.ID – Natal di Gaza, Senin 25 masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Israel terus menggempur Gaza, memperburuk kondisi yang mengerikan bagi warga sipil.
Warga sipil tidak melihat adanya akhir dari perang yang menurut Hamas telah menewaskan lebih dari 20.000 orang di wilayah Palestina. Ya Natal di Gaza masih sama, hujan rudal dan mortir ada di mana-mana.
Perayaan Natal di Kota Betlehem, tempat kelahiran Yesus Kristus di Tepi Barat yang Israel duduki, secara efektif batal di tengah konflik. Sehingga jalan-jalan yang biasanya ramai hanya terwarnai segelintir jemaat dan wisatawan.
Pascaserangan Hamas pada 7 Oktober lalu, Israel berjanji untuk menghancurkan Hamas dan melancarkan kampanye militer balasan di Gaza. Termasuk pemboman udara besar-besaran, yang telah menewaskan sedikitnya 20.424 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan wilayah Palestina yang terkelola Hamas.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 70 orang pada Malam Natal di kamp pengungsi Al-Maghazi.
Tentara mengatakan pihaknya sedang “meninjau insiden tersebut”. Mereka mengklaim berkomitmen terhadap hukum internasional, termasuk mengambil langkah-langkah yang layak untuk meminimalkan kerugian terhadap warga sipil.
“10 anggota dari satu keluarga tewas dalam serangan Israel terhadap rumah mereka di kamp Jabalia di Gaza utara,” kata Kementerian Kesehatan, mengutip Midle East Monitor, Senin 25 Desember 2023.
Dalam serangan terpisah, kementerian mengatakan 18 orang tewas dalam serangan semalam di Khan Yunis.
Tidak ada jeda pada Hari Natal, dan tentara Zionis mengatakan mereka melanjutkan operasi darat, udara dan laut dan menyerang beberapa sasaran Hamas, termasuk para komandannya.
“Sebelum fajar, serangan Israel “menargetkan sebuah rumah” di wilayah tengah Al-Zuwaida di Gaza menewaskan sedikitnya 12 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak,” kata Kementerian kesehatan melansir AFP,
Natal di Gaza: Kelaparan yang Sesungguhnya
Di Gaza selatan, seorang koresponden AFP melaporkan pemboman besar-besaran sepanjang malam di Rafah dan Khan Yunis. Di wilayah utara, tayangan langsung AFPTV pada Senin pagi menunjukkan kepulan asap panjang memanjang melintasi cakrawala.
Sambil memegang kontainer-kontainer kosong, puluhan warga Gaza menunggu di sebuah jalan di Rafah untuk membagikan makanan.
“Kami muak, ini bukan kehidupan. Saya bersumpah perang seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata salah satu dari mereka, Nour Ismail. “Sekarang benar-benar terjadi kelaparan. Anak-anak saya sekarat karena kelaparan.”
Sebagian besar wilayah Gaza berada dalam reruntuhan dan 2,4 juta penduduknya mengalami kekurangan air, makanan, bahan bakar dan obat-obatan, yang hanya dapat diatasi dengan terbatasnya kedatangan truk bantuan.
“80 persen warga Gaza telah mengungsi,” menurut PBB. Banyak yang mengungsi ke selatan dan sekarang berlindung dari dinginnya musim dingin di tenda-tenda darurat.
Kepala badan pengungsi PBB, Filippo Grandi, menyerukan diakhirinya penderitaan ini. “Gencatan senjata kemanusiaan di Gaza adalah satu-satunya jalan ke depan,” tulisnya di X.
“Perang menentang logika dan kemanusiaan, dan mempersiapkan masa depan yang lebih banyak kebencian dan lebih sedikit perdamaian,” sesalnya.
Ketua Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus juga memperbarui seruan untuk gencatan senjata. “Kehancuran sistem kesehatan Gaza adalah sebuah tragedi,” katanya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"