KONTEKS.CO.ID – Liz Truss akhirnya menjadi PM ke-15 Inggris di masa kekuasaaan Ratu Elizabeth II sejak beliau bertahta pada 1952. Dalam pidato kemenangannya, perdana Menteri Inggris terpilih Liz Truss langsung nge-gas terkait konflik Ukraina. Ia mengatakan siap berhadapan dengan presiden Rusia Vladimir Putin. Tak hanya menangani hegemoni Barat yang saat ini tengah ditantang oleh Rusia dan Cina, Truss juga menghadapi masalah domestik yang tidak kalah pelik. Inflasi 18% dan meroketnya biaya energi menjadi persoalan utamanya. Ini harus segera ia bereskan untuk menghindari pergolakan sosial politik, seperti yang tenagh dialami negara negara Eropa.
Siapakah Liz Truss?
Tidak seperti anggota Tory lainnya (sebutan untuk anggota partai konservatif), dimata politisi dan publik, Truss terlihat loyal kepada atasannya. Ia tetap setia kepada Boris Johnson selama hari-hari tergelapnya waktu ia menjabat sebagai perdana menteri.
Disadur dari BBC, Usai lulus sekolah, Truss berhasil masuk universitas bergengsi tingkat dunia yang memiliki jaringan alumni yang kuat, Oxford. Disana ia belajar filsafat, politik, dan ekonomi serta aktif dalam politik mahasiswa, awalnya untuk Partai Demokrat Liberal. Pada tahun 1994 dalam konferensi partai, dirinya mendukung penghapusan monarki. Kutipan kalimatnya yang dikenang orang, “kami Demokrat Liberal percaya pada kesempatan untuk semua. Kami tidak percaya ada orang yang dilahirkan untuk memerintah.”
Namun dalam politik lidah tidak bertulang, begitu juga posisi politik. Selalu fleksibel. Di Oxford jugalah ia berpindah ke partai konservatif.
Setelah lulus, ia bekerja sebagai akuntan untuk Shell, dan Cable &Wireless, dan menikah dengan sesama akuntan Hugh O’Leary pada tahun 2000. Pasangan itu memiliki dua anak.
Truss mencalonkan diri sebagai kandidat Tory untuk Hemsworth, Yorkshire Barat, dalam pemilihan umum 2001, tetapi kalah. Truss menderita kekalahan lain di Calder Valley, juga di West Yorkshire, pada tahun 2005.
Namun semua kekalahan itu tidak menyurutkan ambisi politiknya. Ia akhirnya terpilih sebagai anggota dewan di Greenwich, London tenggara, pada tahun 2006, dan sejak tahun 2008 juga bekerja untuk lembaga kajian berpaham kanan-tengah Reform. Baru pada 2010 ia sukses jadi anggota parlemen mewakili Norfolk Barat Daya dan hingga sekarang menjadi konstituennya.
Pada masa pemerintahan PM David Cameron satu dekade lalu lah Truss mencuat di panggung politik Inggris. Ia menjabat menteri muda urusan anak-anak dan pendidikan pada 2012. Lalu dua tahun kemudian diangkat sebagai menteri pendidikan.
Jelang referendum Brexit 2016, Truss awalnya mendukung Tetap di UE. Tapi kemudian menyesali sikap itu dan berbalik mendukung Brexit. Di masa pemerintahan Boris Johnson sejak 2019, Truss menjabat menteri perdagangan dan sekarang menlu.
Truss berpegang teguh pada pakem ekonomi pemangkasan pajak dan regulasi, serta pengurangan belanja pemerintah dan mengendalikan pasokan uang. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"