KONTEKS.CO.ID – Resesi seks tengah Korea Selatan alami. Karena itu, Seoul merasa perlu mengadopsi “pola pikir darurat” untuk membalikkan tingkat kesuburan terendahnya di dunia.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol juga menyerukan inisiatif baru guna memperbaiki kebijakan masa lalu yang dianggapnya sudah rusak. Sehingga bisa mengatasi resesi seks negaranya.
“Masalah angka kelahiran yang rendah merupakan agenda nasional yang penting,” kata Yoon Suk Yeol, mengutip BNN Bloomberg, Minggu 18 Februari 2024.
Ini ia sampaikan dalam pertemuan pertama tim baru yang mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran. Populasi yang menyusut menimbulkan risiko ekonomi jangka panjang karena berkurangnya jumlah angkatan kerja yang mendukung pertumbuhan dan vitalitas.
Pada pertemuan tersebut Yoon Suk Yeol menyampaikan beberapa inisiatif utamanya. Di antaranya, memperluas layanan penitipan anak, meningkatkan kondisi kerja bagi orang tua.
Lalu menyediakan perumahan dan dukungan keuangan yang terjangkau bagi pengantin baru, dan mengurangi biaya rawat inap untuk anak-anak di bawah usia dua tahun.
Resesi Seks dan Angka Kelahiran Korsel yang Rendah
Presiden Korea Selatan mengatakan, lebih dari US200 miliar (Rp3.131 triliun) telah pemerintah habiskan selama 16 tahun terakhir hanya untuk meningkatkan jumlah penduduknya. Namun hal tersebut tidak memberikan banyak manfaat.
Jumlah bayi yang mereka harapkan per wanita turun menjadi 0,78 pada tahun lalu, menurut data yang kantor statistik rilis bulan lalu.
Korea Selatan menghadapi kemungkinan populasinya yang berjumlah 51 juta orang akan berkurang setengahnya pada akhir abad ini.
Angka kelahiran negara ini hanya 0,81 pada tahun 2021. Ini angka terendah di antara lebih dari 260 negara yang Bank Dunia lacak.
Para ahli berpendapat mungkin Korea Selatan perlu waktu puluhan tahun untuk mencapai angka 2,1. Jumlah yang mereka perlukan untuk mempertahankan populasi yang stabil tanpa migrasi.
“Berdasarkan bukti ilmiah, kita perlu mengevaluasi kembali kebijakan rendahnya angka kelahiran. Lalu mengidentifikasi dengan tepat alasan kegagalannya,” kata Yoon.
“Masalah rendahnya angka kelahiran berkaitan dengan berbagai masalah sosial seperti kesejahteraan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan perpajakan, serta faktor budaya seperti aktivitas ekonomi perempuan.”
Pemerintahan Yoon berencana untuk meningkatkan tunjangan bulanan bagi orang tua yang memiliki bayi hingga usia 1 tahun dari Rp3,1 juta menjadi Rp11 juta di tahun 2024.
Orang tua di Korea Selatan juga menghadapi biaya pendidikan yang secara proporsional termasuk yang tertinggi di negara maju.
Namun para kritikus berpendapat bahwa memberikan uang kepada keluarga yang memiliki anak saja tidak cukup untuk mengatasi masalah ini. Mereka menyerukan perubahan komprehensif yang mencakup pengurangan beban perempuan dalam membesarkan anak dan mempermudah mereka untuk berpartisipasi dalam dunia kerja setelah melahirkan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"