KONTEKS.CO.ID – Sehelai bulu dari burung Selandia Baru yang telah lama punah berhasil memecahkan rekor bulu termahal di dunia setelah terjual seharga USD46.521 atau setara Rp746 juta.
Burung Huia terakhir kali terlihat secara resmi pada awal abad ke-20. Sebelumnya, buru burung tersebut telah terjual hingga Rp82 juta, menurut Rumah Lelang Webb.
Sebelumnya, Rumah Lelang Webb memprediksi bulu burung huia tersebut akan terjual hingga Rp48 juta. Kenyataannya, saat lelang pada Senin 20 Mei 2024 kemarin, bulu ini menjadi yang termahal yang pernah terjual di dunia.
“Bulu huia yang langka ini adalah contoh indah dari sejarah alam Aotearoa. Ini mengingatkan kita akan kerapuhan ekosistem kita,” kata Leah Morris, Kepala Seni Dekoratif di rumah lelang yang berbasis di Auckland, dalam sebuah pernyataan, mengutip CNN, Rabu 22 Mei 2024.
Bulu Burung Termahal di Dunia: Popularitas yang Mematikan
Sebagai anggota keluarga burung pial, huia dihargai mahal oleh banyak orang. Ini pada akhirnya berakibat fatal bagi spesies tersebut.
Bagi suku Maori, bulu burung merupakan tanda status tinggi dan bulu khasnya yang berujung putih mereka gunakan sebagai hiasan kepala upacara. Hanya mereka yang berpangkat tinggi yang boleh memakai bulu huia di rambut mereka atau seluruh kulit di telinganya, menurut Museum Selandia Baru.
Bulu-bulu tersebut sering ditukar dengan barang berharga lainnya. Atau bisa juga orang berikan sebagai hadiah guna menunjukkan persahabatan dan rasa hormat, kata rumah lelang tersebut.
Warga Eropa Selandia Baru juga melihat huia sebagai simbol prestise. Mereka menggunakan bulu binatang untuk aksesoris fesyen dan boneka huia terpasang sebagai hiasan di rumah-rumah kaya.
Museum tersebut menjelaskan, para pemburu Maori dan Eropa membunuh burung tersebut dalam “jumlah besar” selama abad ke-19. Lalu menjual kulitnya kepada kolektor dan pedagang fesyen.
“Popularitas mematikan” huia terlaporkan semakin meningkat ketika Duke dan Duchess of York terfoto mengenakan topi bulu selama perjalanan ke Selandia Baru pada tahun 1901.
“Orang-orang menjadi heboh dan memutuskan bahwa semua orang menginginkan bulu huia,” kata Morris tentang acara tersebut.
Upaya yang dilakukan para ilmuwan pada awal tahun 1900-an untuk melestarikan sisa burung huia gagal. Rencana pemerintah mengirimkan burung-burung tersebut ke pulau-pulau lepas pantai mengakibatkan pihak-pihak yang mengumpulkan burung-burung tersebut menjualnya sebagai spesimen mati. Hal ini mereka anggap lebih “menguntungkan” daripada membiarkan mereka tetap hidup.
Sebagai objek kepentingan nasional, bulu tersebut hanya dapat terbeli oleh kolektor terdaftar dan tidak dapat meninggalkan negara tersebut tanpa izin dari kementerian.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"