KONTEKS.CO.ID – Pendiri dan mantan CEO Twitter Jack Dorsey meminta maaf sebab menganggap dirinya menumbuhkan Twitter terlalu cepat. Pertumbuhan cepat ini disinyakir jadi penyebab terjadinya peristiwa pemecatan 7500 karyawan Twitter usai dibeli Elon Musk. Hal tersebut diungkapkannya pada Sabtu 5 November 2022.
Dorsey bersama beberapa orang lainnya membangun Twitter pada 2006 dan ia mengundurkan diri sebagai CEO pada 2021. “Saya menyadari banyak yang marah kepada saya,” tulisnya.
Twitter sendiri menepis kabar bahwa kurasi konten akan ada perubahan signifikan. Ketakutan inilah yang membuat banyak pengiklan menangguhkan atau membatalkan kontrak iklan mereka.
Kepala keselamatan dan integritas Twitter Yoel Roth dalam sebuah cuitan pada Sabtu, 5 November 2022, mengatakan bahwa tim yang bertanggung jawab untuk pemantauan dan pencegahan misinformasi dan konten berbahaya di platform sebagian besar tetap utuh.
Menurut Roth, memerangi informasi yang salah di platform akan tetap menjadi prioritas utama Twitter. Tujuan yang sama ditekankan oleh pemilik baru perusahaan, miliarder Elon Musk, dalam tweetnya di akun pribadinya.
Musk memerintahkan PHK, antara lain, sebagai upaya untuk efisiensi perusahaan, karena Twitter telah mengalami “penurunan besar-besaran dalam pendapatan” akibat eksodus pengiklan di tengah kekhawatiran moderasi konten di bawah manajemen baru.
Menurut sejumlah cuitan karyawan, PHK sebagian besar memengaruhi tim komunikasi, kurasi konten, hak asasi manusia, dan etika pembelajaran mesin, serta beberapa departemen produk dan teknik.
Sebuah sumber mengatakan kepada Politico bahwa mereka yang diberhentikan termasuk anggota tim yang bekerja pada pemilihan paruh waktu mendatang di AS, moderasi konten, dan verifikasi akun politisi. “Tidak ada editor lagi di Amerika,” katanya, seperti dikutip CNN.
Sebelumnya, Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengklaim bahwa Biden telah “terus terang tentang pentingnya platform media sosial yang terus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ujaran kebencian dan informasi yang salah.” Itu termasuk Twitter, Facebook, dan platform lain “di mana pengguna dapat menyebarkan informasi yang salah,” tambahnya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"