KONTEKS.CO.ID – Tajikistan larang jilbab dan mengenakan denda yang besar bagi yang mengenakannya. Ini sebagai langkah terbarunya untuk mengekang pengaruh Islam terhadap budaya lokal.
Negara di Asia Tengah itu secara resmi melarang pemakaian jilbab dan “pakaian asing” lainnya pada pekan ini. Yakni, ketika parlemen Tajikistan meloloskan undang-undang baru yang mengatur pakaian islami dan perayaan Idul Fitri.
Situs Morocco World News, Rabu 26 Juni 2024 melaporkan, RUU tersebut telah majelis tinggi parlemen, Majlisi Milli, setujui pada 19 Juni lali. RUU itu muncul setelah bertahun-tahun diberlakukannya tindakan keras tak resmi terhadap hijab di negara mayoritas Muslim tersebut.
Berdasarkan undang-undang baru, individu yang mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan terlarang lainnya mendapatkan hingga 7.920 somoni (sekitar Rp11,5 juta).
Perusahaan yang mengizinkan karyawannya mengenakan pakaian terlarang berisiko mendapatkan denda 39.500 somoni (Rp57,5 juta).
Pejabat pemerintah dan pemimpin agama akan menghadapi denda yang lebih besar yakni 54.000-57.600 somoni (Rp78,9 juta-83,8 juta) jika ditemukan melakukan pelanggaran.
UU juga membatasi partisipasi anak-anak dalam perayaan dan tradisi pemberian hadiah yang terkait dengan hari raya Islam. Misalnya, Idul Fitri dan Idul Adha.
Tujuan Tajikistan Larang Jilbab, Idul Fitri, dan Idul Adha
Pejabat pemerintah menyatakan langkah-langkah ini bertujuan untuk memastikan pendidikan dan keselamatan yang layak bagi anak-anak selama liburan.
Tajikistan dilanda masuknya pakaian islami dari Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Ini pihak berwenang anggap terkait dengan ekstremisme dan ancaman terhadap identitas budaya negara tersebut.
Dalam pidatonya di bulan Maret, Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon menyebut hijab sebagai “pakaian asing”. Pemerintah telah lama mempromosikan pakaian tradisional nasional Tajikistan sebagai alternatif.
Undang-undang baru ini mencerminkan peningkatan pembatasan tidak resmi Tajikistan terhadap pakaian islami. Sejak 2007, hijab telah terlarang bagi pelajar, dan larangan tersebut kemudian meluas ke semua lembaga publik.
Pihak berwenang juga secara informal melarang pria berjanggut lebat, dengan adanya laporan bahwa polisi secara paksa mencukur ribuan janggut selama satu dekade terakhir.
Organisasi hak asasi manusia mengkritik larangan hijab di Tajikistan sebagai pelanggaran kebebasan beragama. Dengan lebih dari 98% populasi Muslim, undang-undang tersebut kemungkinan akan menghadapi penolakan yang signifikan dari masyarakat Tajikistan ketika undang-undang tersebut mulai berlaku. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"