KONTEKS.CO.ID – Bank-bank Thailand telah menjadi pemasok utama layanan keuangan internasional bagi pemerintah militer Myanmar.
Atas bantuan mereka, pemerintah militer mampu membeli barang dan peralatan untuk melaksanakan perang berdarah melawan kekuatan perlawanan pro-demokrasi dan kelompok etnis minoritas bersenjata.
Pelapor Khusus PBB mengenai situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews dalam sebuah laporan yang rilis pada Rabu, 26 Juni 2024 telah menelusuri bagaimana junta militer dapat terus melakukan pengadaan senjata dengan mengalihkan pemasok jasa keuangan dan perangkat keras militer.
Laporan tersebut berjudul ‘Banking on the Death Trade: How Banks and Governments Enable the military Junta in Myanmar’. Laporan disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Padahal sumber-sumber sebelumnya terblokir oleh sanksi yang oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara lain jatuhkan.
Laporan tersebut menuduh perusahaan-perusahaan di Thailand, tetangga sebelah timur Myanmar, telah mengambil keuntungan dari penarikan bisnis perusahaan-perusahaan Singapura dari junta militer.
Disebutkan bahwa junta, yang secara resmi dikenal sebagai Dewan Administrasi Negara (SAC), terus terlibat dengan jaringan perbankan internasional yang luas untuk mempertahankan diri dan pasokan senjatanya.
“Selama setahun terakhir, 16 bank yang berlokasi di tujuh negara memproses transaksi terkait pengadaan militer SAC; 25 bank telah menyediakan layanan perbankan koresponden kepada bank-bank milik negara Myanmar sejak kudeta,” demikian isi laporan.
Sebagai informasi, junta militer Myanmar berkuasa pada Februari 2021 setelah tentara menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.
Setelah pasukan keamanan menggunakan kekuatan mematikan untuk menekan protes tanpa kekerasan, perlawanan bersenjata muncul. Kini, negara ini berada dalam perang saudara.
Militer mendapat tuduhan melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara luas, termasuk pemboman terhadap warga sipil.
“Kabar baiknya adalah junta semakin terisolasi. Pengadaan senjata dan pasokan militer tahunan militer Myanmar melalui sistem perbankan formal menurun sepertiga dari tahun yang berakhir pada Maret 2023 ke tahun berikutnya – dari USD377 juta menjadi USD253 juta,” kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
Namun kabar buruknya, junta menghindari sanksi dan tindakan lain dengan mengeksploitasi kesenjangan dalam rezim sanksi, mengganti lembaga keuangan, dan mengambil keuntungan dari kegagalan negara-negara anggota (PBB) untuk sepenuhnya berkoordinasi dan menegakkan tindakan.
Laporan sebelumnya dari Andrews mendokumentasikan entitas yang berbasis di Singapura telah menjadi sumber bahan senjata terbesar ketiga bagi junta militer.
Meskipun ada kebijakan nasional yang jelas menentang transfer senjata ke Myanmar.
Setelah laporan tersebut mencuat dan pemerintah Singapura menyelidiki temuan itu, aliran senjata dan material terkait ke Myanmar dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Singapura turun hampir 90%.
Meskipun bank-bank yang berbasis di Singapura memfasilitasi lebih dari 70% pembelian junta militer yang dilakukan melalui sistem perbankan formal pada tahun keuangan 2022, persentase tersebut telah turun menjadi di bawah 20% pada tahun fiskal 2023.
Ekspor dari entitas yang terdaftar di Thailand meningkat lebih dari dua kali lipat. Dari USD60 juta menjadi hampir USD130 juta dari tahun fiskal 2022 hingga tahun fiskal 2023.
“Banyak pembelian SAC yang sebelumnya dilakukan dari entitas yang berbasis di Singapura, termasuk suku cadang untuk helikopter Mi-17 dan Mi-35 yang digunakan untuk melakukan serangan udara terhadap sasaran sipil, kini bersumber dari Thailand,” katanya.
Laporan ini menyebutkan bank-bank Thailand memainkan peran utama dalam memfasilitasi bisnis internasional bagi militer yang berkuasa di Myanmar.
Sebagai contoh, Siam Commercial Bank melakukan transaksi senilai lebih dari USD5 juta terkait pengadaan militer Myanmar pada tahun fiskal 2022.
Jumlahnya meningkat menjadi lebih dari USD100 juta pada tahun fiskal 2023.
Sayang, bank tersebut menolak untuk segera mengomentari laporan tersebut.
Andrews mencatat jumlah korban pertempuran sejauh ini di Myanmar. Lebih dari 5.000 warga sipil tewas sejak pengambilalihan kekuasaan, 3 juta orang mengungsi, dan lebih dari 20.000 tahanan politik.
“Dengan mengandalkan lembaga-lembaga keuangan yang bersedia melakukan bisnis dengan bank-bank milik negara Myanmar yang berada di bawah kendalinya, junta memiliki akses terhadap layanan keuangan yang diperlukan untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia sistematis, termasuk serangan udara terhadap warga sipil,” kata Andrews.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"