KONTEKS.CO.ID – Pendemo Kenya tak takut mati berhasil mencabut Rancangan Undang-Undang (UU) Pajak yang kontroversial. Kini mereka berjuang melengserkan sang presiden.
Presiden Kenya William Ruto telah mencabut Rancangan Undang-Undang Pajak yang kontroversial. Namun para pengunjuk rasa dan keluarga mereka mengatakan hal itu sudah terlambat.
Dengan lebih dari 20 orang terbunuh, mereka ingin William Ruto pergi juga dari Istana Presiden.
“Anda tidak bisa membunuh kami semua,” teriak seorang pengunjuk rasa ketika polisi anti huru hara bersenjata lengkap menyerangnya, mengutip Al Jazeera, Minggu 30 Juni 2024.
Dia berdiri tegak, botol air di tangan, sesekali memercikkan air ke wajahnya. Matanya terlihat kesal karena asap gas air mata yang melayang di udara dan mencekik polisi dan pengunjuk rasa.
Sekelompok pengunjuk rasa maju ke arahnya. Mereka meneriakkan, “Kami damai, kami damai.” Ada yang mengangkat tangan ke atas kepala, ada pula yang berlutut, bermaksud menunjukkan aksi protes tanpa kekerasan kepada polisi.
Tiba-tiba, sirene berbunyi. Kemudian, air berwarna merah muda membubarkan massa saat sebuah water canon menghalangi para demonstran untuk maju menuju Gedung Parlemen.
Gerakan Demonstrasi Menyebar ke Seluruh Kenya
Adegan-adegan ini berulang kali terjadi pada minggu lalu di Kenya ketika para pemuda yang marah turun ke jalan untuk memprotes rancangan undang-undang pajak yang kontroversial. Menurut banyak orang ini akan membuat harga komoditas penting menjadi lebih mahal.
Presiden William Ruto, yang mendukung undang-undang tersebut, mencabut RUU tersebut pada Rabu malam, sehari setelah pengunjuk rasa menyerbu Parlemen.
Namun keputusannya tidak meredakan kemarahan terhadap pemerintahannya. Ratusan pengunjuk rasa kembali turun ke jalan di Nairobi dan di seluruh negeri pada hari Kamis, banyak dari mereka kini menuntut agar Ruto mundur.
Protes selama seminggu termulai di Ibu Kota Nairobi namun dengan cepat menyebar ke seluruh Kenya. Laporan media lokal mengatakan, protes terjadi di 35 dari 47 kabupaten di Kenya, termasuk di daerah asal Presiden William Ruto, Uasin Gishu, yang memberikan suaranya hampir dua tahun lalu ketika ia berkuasa.
Namun gerakan yang dipimpin oleh generasi muda Kenya ini harus dibayar mahal oleh keluarga-keluarga di seluruh negeri.
Puluhan Pendemo Tak Takut Mati Terbunuh
Banyak keluarga kehilangan anak-anaknya. Salah satunya Paul Tata.
Saat ia meninggalkan rumahnya untuk bekerja Selasa lalu, dia tidak menyadari bahwa itu adalah kali terakhir dia melihat putranya yang berusia 20 tahun, Emmanuel Tata.
“Saya hanya mendoakan hari yang baik untuknya dan saya meninggalkan rumah untuk bekerja di bengkel sepeda motor saya,” kenang Tata.
Tujuh jam kemudian, putranya meninggal. Dia dibunuh saat ikut serta dalam protes menentang RUU pajak. Dia dinyatakan meninggal setibanya di rumah sakit, kata pamannya, Daniel Nzamba.
Emmanuel tercekik setelah menghirup terlalu banyak gas air mata. “Bagaimana Anda menjelaskan kekalahan ini? Masa depan cerah tiba-tiba saja terjadi, karena kami tidak bisa mendengarkan anak-anak kami sendiri. Ketika mereka memberi tahu kami bahwa kami berada di jalan yang salah,” kata Nzamba.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan sedikitnya 23 orang tewas dalam kekerasan dan bentrokan seputar protes tersebut. 300 orang lainnya telah dirawat dan dipulangkan dari rumah sakit.
Di kota pesisir Mombasa, seorang petugas pemakaman menunjukkan kepada Al Jazeera mayat tiga pria dengan banyak luka tembak di kepala dan dada. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"