KONTEKS.CO.ID – Polisi Kenya berhasil menangkap tersangka utama pembunuhan sekaligus mutilasi sembilan perempuan.
Kepala Direktorat Reserse Kriminal, Mohamed Amin, menyatakan tersangka yakni pria 33 tahun bernama Collins Jumaisi Khalusha.
Dalam pengumuman pada Senin, 15 Juli 2024, polisi di Kenya mengatakan, mayat sembilan perempuan itu ditemukan di sebuah tambang ibu kota, Nairobi.
Kepada polisi, pelaku mengaku membunuh 42 perempuan sejak tahun 2022, termasuk istrinya sendiri. Meskipun demikian, pihak berwenang belum memberikan bukti yang mendukung klaim tersebut.
“Dia mengaku melakukan pembunuhan sejak tahun 2022, namun kami masih harus memverifikasi klaim tersebut,” kata Amin.
Dalam penggeledahan di rumah Khalusha, yang berlokasi tidak jauh dari tambang tempat mayat-mayat ditemukan, polisi menemukan beberapa ponsel dan kartu identitas milik korban.
Penemuan mayat-mayat tersebut bermula dari laporan kerabat seorang perempuan yang hilang. Mereka mengaku mendapatkan petunjuk dalam mimpi yang mengarahkan mereka ke tambang tersebut.
Dengan bantuan penyelam lokal, mayat-mayat yang terbungkus karung akhirnya ditemukan.
Penjabat Inspektur Jenderal Polisi, Douglas Kanja, menyatakan sejumlah petugas dari kantor polisi terdekat telah diterjunkan untuk memungkinkan penyelidikan yang lebih mendalam.
Masyarakat setempat menuduh pihak kepolisian lalai, mengingat kedekatan lokasi tambang dengan kantor polisi dan banyaknya kasus orang hilang yang belum terselesaikan.
“Kami akan memastikan penyelidikan ini berjalan transparan dan adil. Kami juga akan menindaklanjuti tuduhan kelalaian oleh petugas di kantor polisi terdekat,” ujar Kanja.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia di Kenya telah mendesak pihak keamanan untuk mempercepat penyelidikan terhadap semua laporan penghilangan paksa.
Mereka mengkhawatirkan jenazah-jenazah tersebut mungkin terkait dengan penculikan dan penangkapan pemuda selama protes anti-pemerintah baru-baru ini.
“Ini adalah waktu yang sangat sulit bagi keluarga korban dan masyarakat luas,” kata pernyataan dari kelompok hak asasi manusia tersebut.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"