KONTEKS.CO.ID – Ismail Haniyeh telah menjadi bagian dari Hamas selama beberapa dekade. Dalam beberapa tahun terakhir ia menjalankan operasi politik kelompok militan tersebut dari pengasingan.
Profil Ismail Haniyeh muncul sebagai salah satu pemimpin Hamas yang paling menonjol selama perang dengan Israel di Gaza.
Hamas dan media Pemerintah Iran mengatakan, pria berusia 62 tahun itu telah terbunuh di Ibu Kota Iran, Teheran. Hamas mengklaim Haniyeh terbunuh dalam “serangan” Israel di kediamannya, sementara militer Israel menolak berkomentar ketika dihubungi oleh CNN.
Kematian Haniyeh merupakan pukulan telak bagi Hamas pada saat ketegangan berkobar di Timur Tengah atas perang yang menghancurkan di Gaza. Pembunuhannya menimbulkan pertanyaan yang menegangkan tentang masa depan negosiasi antara Israel dan Hamas.
Sebagai pemimpin politik Hamas, ia menjadi narasumber utama mediator internasional selama perundingan penyanderaan dan gencatan senjata yang terhenti antara Israel dan Hamas. Ini menyusul serangan kelompok tersebut pada tanggal 7 Oktober di Israel.
Profil Ismail Haniyeh: Melawan Israel Sejak Intifada Pertama
Haniyeh lahir di kamp pengungsi dekat Kota Gaza, dan bergabung dengan Hamas pada akhir tahun 1980-an selama Intifada Pertama, atau pemberontakan.
Orang tuanya adalah pengungsi yang diusir dari Askalan, yang kemudian terkenal sebagai Kota Ashkelon di Israel.
Ia dipenjara beberapa kali di Israel karena keterlibatannya dalam pemberontakan tersebut, sebelum dideportasi dan kembali ke Gaza. Di mana ia terus naik pangkat di Hamas pada dekade berikutnya.
Haniyeh tertunjuk sebagai bagian dari “kepemimpinan kolektif” rahasia pada 2004 setelah kematian dua pemimpin Hamas sebelumnya. Yaitu, Sheikh Ahmed Yassin dan Abdel Aziz Rantisi, yang tewas dalam serangan Israel hanya dalam hitungan minggu.
Setelah Hamas memenangkan pemilihan Dewan Legislatif Palestina pada tahun 2006, Haniyeh menjadi Perdana Menteri Pemerintahan Otoritas Palestina (PA). Tetapi jabatannya tidak bertahan lama.
Ia terberhentikan setelah satu tahun menjabat oleh Presiden PA Mahmoud Abbas. Dan ua tetap menjadi satu-satunya Perdana Menteri PA yang menjabat setelah memperoleh mandat dalam pemilihan umum.
Meskipun teranggap sebagai pemimpin Hamas di Gaza selama bertahun-tahun, Haniyeh tidak menjadi pemimpin politik kelompok tersebut secara keseluruhan hingga tahun 2017, ketika ia mengambil alih jabatan dari Khaled Meshaal yang telah memimpin Hamas di pengasingan sejak tahun 2004.
Setahun kemudian, Haniyeh ditetapkan sebagai “teroris global yang ditetapkan secara khusus” oleh Amerika Serikat – yang terjadi selama periode ketegangan antara Washington dan Palestina. Itu karena keputusan untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, keputusan yang Presiden AS Donald Trump buat saat itu.
Meskipun demikian – dan tidak seperti kepemimpinan militer Hamas – Haniyeh melakukan perjalanan ke seluruh dunia, bertemu dengan tokoh-tokoh dunia sebagai kepala politik organisasi tersebut.
Pembicaraan Gencatan Senjata Hamas-Israel dan Pembebasan Sandera
Serangan mendadak Hamas pada tanggal 7 Oktober menyebabkan sedikitnya 1.500 pejuang Hamas menyerbu perbatasan ke Israel. Dalam serangan yang menewaskan sedikitnya 1.200 orang, dan sekitar 200 orang lainnya tersandera.
Serangan Israel di Gaza sejak itu telah menewaskan lebih dari 39.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan di sana. Itu memicu bencana kemanusiaan di jalur yang padat penduduk itu.
Dalam beberapa bulan sejak itu, Haniyeh telah menjadi tokoh kunci yang berpartisipasi dalam negosiasi internasional mengenai konflik tersebut. Termasuk pembebasan sandera yang masih berada di Gaza.
Ia telah menunjukkan keinginan untuk mencapai kesepakatan jika Israel menarik diri dari Gaza – dengan mengatakan pada bulan Mei bahwa kelompok itu “masih bersemangat” untuk mencapai kesepakatan dengan para mediator. Namun setiap usulan harus menghentikan pertempuran di daerah kantong itu secara permanen.
Saat itu, ia mengatakan, ‘Tuntutan mereka bertujuan untuk menghentikan agresi terhadap rakyat kami, yang merupakan posisi mendasar dan logis yang meletakkan dasar bagi masa depan yang lebih stabil.”
Sebagai tanggapan, Israel menyebut tuntutan tersebut tidak dapat mereka terima. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bersumpah untuk terus berjuang sampai Hamas hancur – membuat negosiasi terhenti karena kedua belah pihak saling menyalahkan.
Anak-Anak Haniyeh Tewas oleh Serangan Zionis
Baru-baru ini pada awal Juli, Haniyeh menghubungi mediator di Qatar dan Mesir untuk membahas ide-ide untuk mengakhiri perang, yang memicu harapan bahwa kedua belah pihak dapat segera mencapai kesepakatan kerangka kerja.
“Mengingat perannya dalam negosiasi, kematian Haniyeh akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap negosiasi tersebut,” kata Analis Politik dan Kebijakan Luar Negeri CNN Barak Ravid, Rabu 31 Juli 2024.
Selama perang, ia juga terus bertemu dengan para pemimpin dan pejabat dunia lainnya – termasuk diplomat China Wang Kejian, yang bertemu Haniyeh di Qatar pada bulan Maret, di mana mereka membahas perang di Gaza.
Haniyeh juga merasakan dampak perang di Gaza secara pribadi. Pada bulan April, polisi Israel menangkap salah satu saudara perempuannya atas tuduhan berkomunikasi dengan anggota gerakan tersebut. Sembilan hari kemudian, serangan udara Israel menewaskan tiga putranya dan empat cucunya.
Selanjutnya, Haniyeh menegaskan kematian mereka tidak akan memengaruhi gencatan senjata dan perundingan penyanderaan yang sedang berlangsung.
“Siapa pun yang berpikir bahwa dengan menargetkan anak-anak saya selama perundingan dan sebelum kesepakatan tersepakati, Hamas akan mundur dari tuntutannya, itu adalah orang yang gila,” katanya.
Pada saat itu, Haniyeh bermarkas di Qatar, yang bukan merupakan penanda tangan Statuta Roma yang mengizinkan yurisdiksi oleh Pengadilan Kriminal Internasional.
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"