KONTEKS.CO.ID – Bandara paling sulit mendarat ternyata ada. Tak sembarangan pilot yang bisa mendaratkan pesawatnya di bandara ini.
Dunia penerbangan mencatat, secara teknis Bandara Internasional Paro Bhutan (PBH) adalah bandara paling sulit bagi pilot untuk mendarat.
Sakitng sulitnya, penumpang akan bertepuk tangan ketika pesawat berhenti dengan aman di appron bandara.
Bagi pilot, bermanuver ke landasan pacu pendek di antara dua puncak setinggi 18.000 kaki memang membutuhkan pengetahuan teknis dan keberanian tinggi.
Bandara dan kondisinya yang menantang hanya menambah mistik seputar perjalanan ke Bhutan, Kerajaan Himalaya dengan penduduk hanya 800.000 orang.
Kondisi unik untuk terbang masuk dan keluar dari Bandara Internasional Paro Bhutan membuat pesawat jet jumbo tidak dapat mendarat di sini. Namun bagi penggemar penerbangan, itulah sebagian daya tarik mengunjungi Negeri Naga Petir.
“Hal pertama yang terpenting bahwa Paro ‘sulit, tetapi tidak berbahaya’,” kata Kapten Chimi Dorji, yang telah bekerja di maskapai penerbangan nasional milik BUMN Bhutan, Druk Air (Royal Bhutan Airlines) selama 25 tahun.
“Memang menantang bagi keterampilan pilot, tetapi tidak berbahaya, karena jika berbahaya, saya tidak akan terbang,” katanya lagi.
Apa yang Membuat Bandara Internasional Paro Bhutan Unik?
Kombinasi faktor geografis membuat Paro dan sebagian besar Bhutan– tampak memukau secara visual. Faktor-faktor tersebut juga membuat terbang masuk dan keluar Paro menjadi keterampilan yang sangat terspesialisasi.
Paro adalah bandara kategori C, yang berarti pilot harus memiliki pelatihan khusus untuk terbang di sana. Mereka harus melakukan pendaratan sendiri secara manual, tanpa radar.
Seperti yang Dorji katakan, sangat penting bagi pilot untuk mengetahui lanskap di sekitar bandara –jika Anda mengacaukannya sedikit saja, Anda dapat mendarat di atas rumah seseorang.
“Di Paro, Anda benar-benar perlu memiliki keterampilan lokal dan kompetensi pengetahuan lokal. Kami menyebutnya pelatihan kompetensi area atau pelatihan area atau pelatihan rute dari mana saja ke Paro,” ungkapnya kepada CNN, melansir Rabu 18 September 2024.
Bhutan, yang terletak di antara China dan India, lebih dari 97% wilayahnya berupa pegunungan. Ibu kotanya, Thimpu, berada di ketinggian 7.710 kaki (2.350 meter) di atas permukaan laut. Paro sedikit lebih rendah, yakni di ketinggian 7.382 kaki.
“Di ketinggian yang lebih tinggi, udaranya lebih tipis, jadi pesawat pada dasarnya harus terbang di udara lebih cepat,” jelas Dorji.
“Kecepatan udara Anda yang sebenarnya akan sama, tetapi kecepatan udara Anda terbandingkan dengan kecepatan di darat jauh lebih cepat,” tuturnya.
Variabel berikutnya yang perlu pilot pertimbangkan adalah cuaca.
Tak Ada Penerbangan Malam di Bhutan
Siapa pun yang pernah terbang ke Paro –dari New Delhi, Bangkok, Kathmandu, atau, mulai Oktober 2024, Hanoi– kemungkinan besar harus bangun pagi-pagi sekali untuk penerbangan mereka.
Itu karena petugas bandara lebih suka semua pesawat mendarat sebelum tengah hari demi keselamatan optimal lantaran kondisi angin kencang.
“Kami mencoba menghindari operasi setelah tengah hari karena saat itu Anda akan mendapatkan banyak angin termal, suhu meningkat, hujan belum turun,” kata Dorji.
“Jadi daratan kering dan Anda mendapatkan semua penurunan ini dan mendapatkan semua angin anabatik/katabatik di lembah pada sore hari. Pagi hari jauh lebih tenang,” tambahnya.
Namun, itu tidak menjadi masalah dengan lepas landas. Sayanhnya tidak ada penerbangan malam di Paro, terlepas dari musimnya, karena kurangnya radar.
Akomodasi yang berbeda harus dibuat selama musim hujan, yang biasanya antara Juni dan Agustus. Tidak jarang terjadi badai petir pada waktu itu, lengkap dengan hujan es yang dapat mencapai ukuran bola golf.
“Musim hujan melintasi Teluk Benggala,” kata Dorji. “Ada angin barat laut yang bertiup dari seberang China. Dan ada periode-periode ketika hujan turun selama berhari-hari.”
Pada akhirnya, katanya, bagian dari pelatihan pilot bukan hanya mengetahui cara terbang. Tetapi juga mengetahui kapan tidak boleh terbang, dan mampu mengambil keputusan saat waktu yang tidak aman untuk lepas landas.
Faktor terakhir dalam tingkat kesulitan Paro adalah apa yang disebut Dorji sebagai “rintangan”. Yaitu, medan pegunungan yang mengelilingi bandara.
Landasan pacu Paro hanya sepanjang 7.431 kaki, dan diapit oleh dua gunung tinggi. Akibatnya, pilot hanya dapat melihat landasan pacu dari udara saat mereka hendak mendarat di sana.
Bandara Paling Sulit Mendarat dan Tantangan Industri Penerbangan Bhutan
Banyak hal berubah di Bhutan, dan industri penerbangan adalah salah satunya. Meskipun ada bandara paling sulit untuk pesawat mendarat.
Gelephu, di Bhutan selatan dekat perbatasan India, telah terpilih sebagai lokasi untuk “kota kesadaran” baru yang terbangun khusus.
Meskipun sudah menjadi bandara kecil, status baru Gelephu membawa perluasan yang signifikan. Perbedaan paling mencolok antara Gelephu dan Paro adalah medannya.
Gelephu jauh lebih datar dan ada cukup ruang untuk membangun landasan pacu lebih panjang yang lebih mudah bagi pilot yang tidak memiliki keahlian khusus. Serta dapat menampung pesawat jet jumbo.
Dalam beberapa tahun, ada kemungkinan akan ada penerbangan langsung ke Bhutan dari Utara Amerika, Eropa, dan Timur Tengah.
Industri ini masih relatif muda di sini. Druk Air berdiri pada tahun 1981 –bandingkan dengan tahun 1919 untuk KLM, tahun 1920 untuk Qantas, dan tahun 1928 untuk Delta Air Lines.
Dan meskipun Bhutan hanya memiliki beberapa lusin pilot berlisensi, ada kepentingan nasional yang dinyatakan dalam perekrutan dan pelatihan lebih banyak pilot muda secara lokal. Bukan hanya perekrutan dari luar negeri.
Calon pilot harus menunjukkan kemampuan mereka untuk terbang di semua musim yang bervariasi di Bhutan. Sebagai maskapai nasional, Druk Air telah mengambil banyak tanggung jawab untuk pelatihan pilot sendiri.
“Saya menganggap diri saya … sebagai jembatan antara generasi lama dan generasi baru,” kata Dorji, terkait
Ia yakin ada 50 pilot berlisensi di Bhutan, tetapi jumlah itu dapat dengan mudah berlipat ganda dalam beberapa tahun ke depan.
Apa pun itu, katanya, “Saya menantikannya.” ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"