KONTEKS.CO.ID – Kunjungan kerja perdana ke luar negeri Presiden Prabowo Subianto ke China mengundang polemik serius bagi kedaulatan Indonesia di Laut China Salatan yakni Natuna.
Di Beijing, Presiden Prabowo bertemu Presiden Xi Jinping. Ini adalah kunjungan pertamanya ke mancanegara setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2024 sebagai Presiden Indonesia 2024-2029.
Kunjungan tersebut menandai termulainya hubungan mitra strategis dengan China yang lebih jelas dan eksplisit.
Sekadar catatan, nota kesepahaman yang kedua pimpinanan negara tandatangani adalah pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim yang tumpang tindih klaim di antara kedua negara.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau.
Bara Maritim dan SETARA Institute menilai langkah kerja sama ini sebagai kebijakan keliru bahkan berisiko serius bagi Indonesia.
Menurut Merisa Dwi Juanita, Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, ada sejumlah alasan dari kesimpulan ini.
Alasan pertama, penolakan klaim sepihak China. Menurut Merisa, Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China atas peta 10 garis putus-putus (ten dash line) di Laut China Selatan. Peta ini Beijing terbitkan pada 28 Agustus 2023 melalui Kementerian Sumber Daya Alam .
Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut China Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain. Serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna.
Presiden Prabowo Subianto Akui Ten Dash Line Milik China?
Lebih lanjut Merisa mengatakan, alasan kedua ialah kepatuhan terhadap UNCLOS 1982. Indonesia dan China adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Klaim ruang laut Indonesia saat ini sepenuhnya berdasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982. Wilayah China jauh melampaui 200 nm ZEE dan 350 nm landas kontinen. Jadi, jelas tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
“Oleh karena itu, memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih tidak memiliki dasar yang kuat. Terutama mengingat protes terhadap klaim China yang konsisten terlakukan sejak 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024,” tuturnya.
“Jadi pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih pada wilayah maritim kedua negara merupakan inkonsistensi yang serius,” tambahnya.
Alasan ketiga, putusan Arbitrase Internasional 2016. Klaim China melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016. Dengan demikian tidak memiliki basis hukum yang sah.
“Penandatanganan nota kesepahaman oleh Presiden Prabowo ternilai sebagai tindakan yang mengakui klaim China. Padahal secara hukum internasional klaim tersebut tidak valid,” tandasnya.
Kemudian argumentasi keempat, yakni pelanggaran oleh nelayan dan Coast Guard China. Nelayan mereka bersama dengan penjaga pantainya, telah berulang kali melakukan penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) dan melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara secara agresif.
Tindakan ini menyebabkan krisis berkepanjangan yang merugikan Indonesia, baik secara ekonomi maupun keselamatan para nelayan yang terlibat langsung.
Untuk itu, Bara Maritim dan SETARA Institute mendesak agar Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri ataupun Presiden Prabowo sendiri, segera mengeluarkan pernyataan resmi yang menegaskan kembali posisi Indonesia sesuai UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase Internasional 2016.
Selain itu, diperlukan penguatan potensi kelautan di wilayah yurisdiksi Indonesia serta peningkatan keamanan insani (human security) bagi para nelayan dengan penegakan hukum yang lebih tegas di wilayah zona krisis.
“Termasuk peningkatan peralatan yang canggih di kapal-kapal Bakamla untuk menciptakan keamanan maritim di wilayah perairan Indonesia,” sarannya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"