KONTEKS.CO.ID – Perdana Menteri Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan. Berbicara di gedung Arsip Nasional atau National Archieve di Den Haag, Rutte menyebut tindakan Belanda di masa lalu selama 200 tahun, dimana lebih dari 600.000 orang diangkut sebagai budak dari Afrika ke koloni Karibia Belanda sebagai kejahatan kemanusiaan.
Dalam pidatonya Rutte menyebutkan sejarah menyangkut kita semua. “Sejarah yang kompleks, di mana tahun yang berbeda dan peristiwa yang berbeda memiliki arti penting di tempat yang berbeda. Bukan hanya 1863 dan 1873. Tapi 1860 juga, misalnya, tahun perbudakan di Hindia Belanda secara resmi dihapuskan.”
“Kami meminta maaf secara anumerta kepada semua orang yang diperbudak di seluruh dunia dan menderita karena tindakan itu, kepada putra dan putri mereka dan semua keturunannya hingga hari ini,” kata Rutte, Senin 19 Desember.
Dalam pidato sebelumnya, Rutte dikritik karena dianggap terburu buru dan tidak berkonsultasi dengan keturunan korban sebelumnya.
Dilansir Dutch News, permintaan maaf ini menimbulkan kontroversi di Belanda. Aktivis anti-perbudakan mengatakan mereka ingin permintaan maaf dikeluarkan pada 1 Juli tahun depan, bertepatan dengan peringatan 150 tahun penghapusan perbudakan di Suriname, yang biasanya diperingati dalam acara Keti Koti (mematahkan rantai).
Menurut perdana menteri, gedung arsip nasional dipilih sebagai tempat pidato karena merupakan tempat ingatan bangsa, di mana ujian nasional hati nurani Belanda berlangsung.
“Selama berabad abad Belanda dan perwakilannya telah memfasilitasi, merangsang, memelihara dan mengambil keuntungan dari perbudakan,” katanya.
Ia menambahkan, selama berabad abad rakyat diubah menjadi komoditas atas nama negara Belanda, dieksploitasi dan dianiaya. Selama berabad-abad martabat manusia diinjak-injak di bawah otoritas negara Belanda, dengan cara yang paling mengerikan.
“Dan pemerintah Belanda berturut-turut sejak 1863 telah berbuat terlalu sedikit untuk melihat dan mengakui efek negatif yang dimiliki perdagangan budak yang kita lakukan di masa lalu, dan masih ada. Untuk ini saya minta maaf atas nama pemerintah Belanda.”
Permohonan maaf Rutte diucapkan dalam bahasa Inggris, bahasa Suriname Sranan Tongo dan Papiamento, bahasa yang digunakan di kepulauan Karibia Belanda.
Rutte juga memperjelas bahwa meminta maaf atas perbudakan untuk mendorong diskusi yang lebih luas tentang masa lalu perdagangan budak dan dampaknya.
Pemerintah Belanda akan menyusun program acara sepanjang tahun 2023 untuk memperingati 150 tahun penghapusan perbudakan.
Ia juga menegaskan bahwa raja WIlem-Alexander akan menghadiri peringatan resmi Keti Koti di Amsterdam pada 1 Juli.
Pidato tersebut bertepatan dengan pengumuman dana 200 juta euro atau sekitar Rp3,3 Triliun untuk mensubsidi proyek-proyek yang berfokus pada sejarah perdagangan budak transatlantik. Keturunan dari mereka yang diperbudak juga akan dapat mengubah nama mereka tanpa biaya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"