KONTEKS.CO.ID – Amerika dan Uni Eropa tidak akan membiarkan Rusia menang dalam operasi khusus di Ukraina. Untuk tujuan tersebut, lima titik konflik lama antar negara tetangga Rusia kembali dimunculkan. Hal tersebut diulas oleh Politico. Berikut beberapa konflik yang terjadi diwilayah pengaruh Rusia:
- Armenia dan Azerbaijan
Minggu lalu Azerbaijan mulai menembaki kota-kota dan desa-desa hingga pedalaman Armenia. Ini merupakan eskalasi paling serius di Kaukasus Selatan sejak perang berdarah tahun 2020 dibekas republik Uni Soviet. Konflik reda setelah Moskow menengahi gencatan senjata dan mengerahkan pasukan ke wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan.
Tetapi laporan menunjukkan bahwa Kremlin telah menarik tentaranya yang terbaik dan paling berpengalaman untuk dikirim ke Ukraina dan dalam beberapa pekan terakhir. Melihat peluang ini, pasukan Azerbaijan melewati batas negara dan mengambil posisi strategis, sementara Rusia tidak dapat atau tidak mau mengirim pasukannya kembali.
Armenia adalah anggota dari Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO), aliansi militer yang dipimpin oleh Rusia. Azerbaijan secara bertahap mengurangi hubungan dengan Rusia pasca-Soviet melalui jalinan relasi yang lebih dekat dengan Turki, yang menyediakan peralatan militer dan pelatihan pasukan.
- Georgia
Penduduk Georgia rata rata menganut Russophobia. Grafiti di dinding jalan penuh dengan kata-kata kotor terhadap Putin, sementara satu bar populer meminta orang Rusia untuk menandatangani pernyataan menentang agresi negara mereka sebelum diizinkan masuk.
Sekitar seperlima wilayah Georgia diduduki oleh pasukan Rusia dan perwakilan mereka, yang disebut proksi, di wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan yang memisahkan diri. Setelah kalah perang melawan Moskow pada 2008, Georgia telah lama meninggalkan orbit politik Rusia, tetapi tetap berada di urutan ketiga dalam daftar mitra dagang utamanya.
Meskipun pemerintah telah dengan keras memprotes invasi ke Ukraina, namun belum menerapkan sanksi ekonomi terhadap Moskow, yang berarti tidak ada tekanan untuk berbuat lebih banyak. Lebih dari 60 persen orang Georgia yang disurvei beberapa minggu sebelum invasi mengatakan politisi yang berkuasa tidak mengambil sikap yang cukup kuat.
Dan retorika politisi pun menjadi lebih ganas. Awal pekan ini, Irakli Kobakhidze, ketua partai berkuasa Georgian Dream, mengatakan negara itu harus “membiarkan orang mengatakan apakah mereka ingin membuka front kedua di Georgia melawan Rusia” dengan menyerang Abkhazia dan Ossetia Selatan. Kemudian, dia mengatakan dia bercanda.
- Kazakhstan
Pada bulan Januari, pasukan Rusia datang ke Kazakhstan sebagai bagian dari misi “penjaga perdamaian” CSTO yang ditugaskan untuk menekan protes massa yang mengancam akan menggulingkan pemerintah. Ini tidak berarti bahwa Kremlin telah mendapatkan sekutu yang dapat diandalkan. Presiden Kassim Jomart Tokayev secara tak terduga di Forum Ekonomi di St. Petersburg pada bulan Juni, menolak untuk mengakui dua “negara kuasi seperti Lugansk dan Donetsk.”
Beberapa minggu kemudian, Tokayev mengatakan kepada Presiden Dewan Eropa Charles Michel bahwa negaranya khawatir tentang “risiko terhadap keamanan energi global” yang diciptakan oleh perang dan menawarkan untuk “menggunakan potensi hidrokarbonnya untuk menstabilkan situasi di dunia dan di pasar Eropa.”
Moskow membalas dua hari kemudian dengan menutup terminal minyak Novorossiysk, mencegah Kazakhstan mengekspor cadangan minyak dan gasnya yang signifikan melalui Laut Kaspia. Ranjau laut dari Perang Dunia Kedua disalahkan atas ancaman langsung terhadap fasilitas tersebut, tetapi para analis menduga bahwa hal ini amat kebetulan. Kazakhstan secara resmi mengikuti sanksi Barat terhadap Rusia, dan hubungan tampaknya semakin buruk.
Sebelumnya pada bulan Agustus, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan di Internet bahwa “Kazakhstan adalah negara buatan” dan bahwa “hutan belantara” awalnya dijajah oleh Rusia. Postingan itu kemudian dihapus dan Medvedev mengatakan dia telah diretas.
- Moldova
Negara kecil dan miskin berpenduduk tiga juta orang ini tidak mampu melepaskan pengaruh Moskow. Wilayah timur Transnistria adalah republik yang memisahkan diri dengan penjagaan 1.500 tentara Rusia.
Presiden Maja Sandu tak kuasa mengusir pasukan ini dan pemerintahannya sangat mendukung Ukraina. “Perang Rusia yang tidak adil melawan Ukraina jelas menunjukkan kepada kita harga kebebasan,” kata Sandu. Baik Moldova dan Ukraina menerima status kandidat untuk aksesi UE pada bulan Juni.
“Ada satu orang yang pantas mendapatkan semua medali karena menempatkan Moldova di jalan menuju integrasi Eropa, dan itu adalah Vladimir Putin,” kata mantan anggota parlemen Vjecheslav Jonica awal tahun ini.
- Tajikistan dan Kirgistan
Pada hari Rabu pekan lalu penjaga perbatasan kedua negara terlibat baku tembak dalam bentrokan yang menewaskan dua orang. Laporan artileri dan senjata berat lainnya sekarang menyebabkan evakuasi desa-desa dikedua negara.
Garis perbatasan kedua negara hingga saat ini tidak pernah terselesaikan dan kedua belah pihak saling menuduh mengobarkan konflik. Selama masa Uni Soviet, perbatasan itu tidak penting, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, Tajikistan dan Kirgistan telah berulang kali mendekati ambang perang.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan “kesediaan untuk membantu para pihak mencapai solusi jangka panjang yang dapat diterima bersama untuk masalah perbatasan” dan menawarkan untuk berbagi “pengalaman yang kaya dalam demarkasi perbatasan”.
Namun kekuatan militer Rusia di kawasan itu terkikis. Moskow telah menarik 1.500 tentaranya dari pangkalan di Tajikistan, demikian laporan RFE/RL (media eropa bentukan Barat). Ada juga laporan bahwa tentara Rusia yang dirotasi ditempatkan di Kirgistan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"