KONTEKS.CO.ID – Walau pun dilarang sebagai alat pembayaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, kripto tetap dipungut pajak dan telah berkontribusi kepada negara melalui pajak.
Di Indonesia, kripto diakui sebagai komoditas yang diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagai aset untuk investasi. Meski sudah menyumbang pajak, negara masih menolak tegas kehadirannya.
Melalui UU tersebut dengan turunannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.0/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, PPh 22 atas transaksi aset kripto melalui penyelenggara PMSE dalam negeri dan penyetoran sendiri sebesar Rp60,76 miliar dan PPN dalam negeri atas pemungutan oleh non bendahara sebesar Rp65,99 miliar.
Jumlah pajak tersebut terbilang kecil, mengingat data yang dikeluarkan oleh Finder Crypto Adoption Agustus 2022, disebutkan bahwa kepemilikan aset crypto orang Indonesia mencapai 29,8 juta dengan persentase tingkat kepemilikan di Indonesia mencapai 16 persen atau lebih tinggi dari rata-rata global 15 persen.
Walau tahun lalu Indonesia belum masuk posisi teratas pertumbuhan aset kripto didunia, namun tahun ini Indonesia menempati posisi ke-20 negara pertumbuhan aset kripto yang tinggi.
Sebuah riset terbaru dari Chainalysis merilis indeks yang mengukur adopsi kripto global di tahun 2022. Dari hasil tersebut, Indonesia berada di urutan ke-20 dan termasuk dalam kategori negara berkembang berpenghasilan menengah ke bawah yang memiliki pertumbuhan adopsi kripto yang tinggi. Meskipun, Indonesia kalah dengan Vietnam yang menduduki nomor satu. Peringkat ini terbilang tidak akurat, mengingat Indonesia telah masuk kategori negara maju yang masuk G-20.
Diprediksi hingga akhir tahun transaksi kripto akan semakin pesat karena meski US Dollar menguat, tren kekuatan mata uang tersebut mulai melemah, sehingga banyak orang mengalihkan asetnya ke Kripto dan perak. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"