KONTEKS.CO.ID – Dunia usaha dan masyarakat semakin pesimis dengan masa depan. Hal tersebut berdasarkan riset Financial Times. Hasil analisa kepercayaan dan kegiatan ekonomi di pasar keuangan mengungkapkan pesimisme tumbuh karena krisis biaya hidup yang dipicu meroketnya harga makanan dan bahan bakar yang lebih mahal akibat konflik Rusia-Ukraina.
Makna dari krisis ini adalah penghasilan masyarakat dan perusahaan menjadi lebih sedikit, namun pengeluaran bertambah untuk berbagai kebutuhkan.
Eswar Prasad, seorang rekan senior di Brookings Institution, mengatakan kepada Financial Times bahwa indeks tersebut menunjukkan “serangkaian luka yang ditimbulkan sendiri” dan juga ditimbulkan oleh pemerintah dan perusahaan, dengan kemacetan rantai pasokan dan kebijakan yang buruk menambah inflasi yang tinggi.
“Momentum pertumbuhan, serta pasar keuangan dan indikator kepercayaan, semakin memburuk di seluruh dunia dalam beberapa bulan terakhir,” kata Prasad. Indeks mencatat “suasana pesimisme ekonomi yang meningkat” yang menimpa negara-negara maju.
Prasad mengatakan optimisme bisnis anjlok sejak tahun lalu daripada kapan pun selama dekade sebelumnya.
Indeks dua kali setahun menemukan momentum ekonomi dunia terhenti dan situasinya semakin buruk di negara-negara maju, itu bahkan lebih buruk di negara-negara berkembang yang lebih rentan terhadap kenaikan harga pangan dan energi.
“Banyak negara sudah berada di, atau di, ambang resesi langsung di tengah meningkatnya ketidakpastian dan meningkatnya risiko,” kata Prasad.
Berita suram juga datang dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang telah mengadakan pertemuan tahunan besar secara virtual. The Guardian melaporkan bahwa bahasan pandemi, konflik Rusia-Ukraina dan krisis iklim, dan dampaknya terhadap ekonomi global, dan kesimpulannya sama, yakni resesi dunia telah datang tahun depan.
Bank Dunia baru-baru ini mengatakan resesi global dapat menjerumuskan 600 juta orang ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030, dengan individu-individu harus hidup hanya dengan $2,15 per hari.
Kristalina Georgieva, direktur pelaksana IMF, mengatakan kepada BBC bahwa dunia tampaknya sedang menuju era baru disrupsi di mana pendapatan yang menyusut bagi pekerja akan berarti “bahkan negara-negara di mana pertumbuhan tetap positif” akan “merasa seperti berada dalam resesi”.
Para ahli mengatakan ekonomi dunia bisa menyusut sebesar $4 triliun antara sekarang dan 2026. Situasi putus asa menyebabkan 140 kelompok masyarakat sipil mengirim surat terbuka kepada dewan IMF menjelang pertemuan besarnya, mendesaknya untuk mengeluarkan $650 miliar cadangan darurat untuk membantu negara-negara anggota menghadapi krisis keuangan mereka.
Jumlah total yang akan terhapus oleh perlambatan ekonomi dunia dimasa sekarang dan 2026 sebesar $ 4 triliun. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"