KONTEKS.CO.ID – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur kembali menggelar sidang gugatan perbuatan melawan hukum dengan tergugat Futri Zulya Savitri, anak Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Kamis 10 Agustus 2023.
Menurut kuasa hukum penggugat, Yayan Riyanto, dalam proses mediasi pihaknya datang bersama kliennya, Galuh Safarina Sari Kalmadara, putri Zulkifli Hasan yang menjadi tergugat III, juga diwakili oleh kuasa hukumnya.
“Tahapan mediasi akan dilanjutkan kembali pada 24 Agustus 2023, dengan agenda menghadirkan prinsipal. Kami berharap mediasi ini dapat menyelesaikan masalah, yakni mengembalikan ke asal masalah yaitu pinjam-meminjam,” ujar Yayan.
Salah satu penggugat, Aziz Anugerah Yudha Prawira, yang hadir dalam sidang, mengatakan pihaknya siap membayar utang beserta bunganya kepada si pemberi utang.
“Utangnya berapa akan kita bayar, bunganya berapa akan kita bayar. Yang namanya utang merupakan kewajiban, jadi akan saya bayar. Asalkan setelah saya bayar hutang, rumah kembali ke saya. Karena itu rumah saya,” ujar pemuda yang akrab dipanggil Yudha tersebut.
Yayan menjadi kuasa hukum dari para penggugat, yakni Aziz Anugerah Yudha Prawira (penggugat I), Binar Imammi (penggugat II), dan Galuh Safarina Sari Kalmadara (penggugat III). Mereka mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Lie Andry Setyadarma (tergugat I), Gianda Pranata (tergugat II), Futri Zulya Savitri (tergugat III), dan H Syafran (tergugat IV) serta Kepala Kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur (turut tergugat).
Perkara bermula ketika Yudha membutuhkan pinjaman uang. Ia kemudian berkenalan dengan Gianda Pranata yang bisa mencairkan pinjaman dengan jaminan sertifikat rumah.
Gianda menjanjikan Yudha akan mendapat pinjaman uang Rp5,5 miliar, dengan jaminan sertifikat hak milik Binar Imammi, dengan dikurangi atau dipotong untuk bunga dan lain lain, hingga total potongan Rp1,7 miliar.
Sebagai jaminan utang, Yudha menyerahkan sertifikat hak milik rumah di Jalan Nusa Indah Raya Blok H kavling No. 2,3,4 Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, atas nama Binar Imammi. Sertifikat itu diserahkan kepada H Syafran (tergugat IV).
Pada 28 September 2020, terjadi pertemuan antara para penggugat, tergugat I, tergugat II, dan disepakati perjanjian pinjaman uang dan dibuatkan akta-akta oleh tergugat IV di kantor notaris tergugat IV. Ternyata isinya adalah Akta Pengikatan Jual Beli No.08/2020, Akta Kuasa Untuk Menjual No.09/2020, Akta Perjanjian Pengosongan No.10/2020.
“Pada awalnya para penggugat sempat protes dan bertanya kenapa dibuatkan Akta Pengikatan Jual Beli, bukan perjanjian pinjam uang? Namun dijawab oleh tergugat II bahwa prosedurnya seperti ini, dan ini hanya formalitas saja. Karena dijawab hanya formalitas, kemudian para penggugat percaya dan kemudian penggugat II dan penggugat III menandatangani akta-akta yang dibuat tersebut,” tukas Yayan.
Setelah tanda tangan, tergugat I mentransfer uang ke penggugat III sebesar Rp5,5 miliar, dan langsung dipotong Rp1,7 miliar. Seiring berjalannya waktu, penggugat I hendak memperpanjang pinjaman, tapi tergugat I mengatakan sudah membeli rumah objek sengketa dan bukan pinjaman.
Padahal komunikasi penggugat I dengan tergugat II dan tergugat I, tergugat IV menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah pinjaman. Bahkan ketika penggugat I hendak melunasi pinjaman juga dipersulit komunikasinya.
“Sertifikat Hak Milik atas objek sengketa telah dibalik nama dari nama penggugat II menjadi nama tergugat I tanpa adanya pemberitahuan atau peringatan kepada penggugat I atau penggugat II, di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Turut Tergugat),” ujar Yayan.
Karena tidak ada titik temu, maka pada 10 November 2021, penggugat II membuat Laporan Polisi di Bareskrim Polri, dengan terlapor tergugat I dan kawan kawan.
Dalam perjalanan, objek sengketa diketahui telah beralih kepemilikan dari tergugat I menjadi milik tergugat III. Saat ditanyakan ke para tergugat diketahui bahwa objek sengketa telah menjadi milik tergugat III.
Menurut Yayan, perbuatan para tergugat merugikan kliennya. Sebab apabila objek sengketa dijual, akan menghasilkan uang senilai kurang lebih Rp30 miliar. Karena itu, selain melapor polisi, pihaknya juga mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"