KONTEKS.CO.ID – Ekonomi di rezim Orba. Beberapa tahun pasca-runtuhnya Orde Lama (Orla), Presiden daripada Soeharto mendapat julukan Bapak Pembangunan karena dianggap berhasil memajukan Indonesia dengan sentuhan “Midas”nya.
Tetapi di balik itu semua, ada banyak masalah akibat kekeliruan kebijakan ekonomi Orba alias Orde Baru. Di antaranya konsensi tambang Freeport yang hanya memberikan secuil cuan untuk negara, program mobil nasional yang gagal, dan rontoknya swasembada pangan.
Kiprah Soeharto memoles ekonomi Indonesia terjadi sejak kekuasaan negara resmi ia pegang pada 22 Februari 1967.
Di tangan Soeharto, perekonomian Indonesia pernah mencatatkan level pertumbuhan ekonomi tertingginya pada 1968. Ekonomi rakyat tumbuh meroket hingga 10,92%.
Sayangnya, torehan emas itu terkubur tinta hitam pada pengujung kekuasaannya. Pertumbuhan ekonomi terjun bebas hingga minus 13,13%. Angka pertumbuhan ini juga akhirnya tercatat sebagai yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Pada awal kepemimpinannya, The Smilling General itu juga sanggup menekan angka kemiskinan.
Saat Orde Baru berawal, tingkat kemiskinan tembus 60%. Perlahan tapi pasti, jumlahnya terus berkurang. Menginjak 30 tahun berkuasa, tepatnya pada 1996, data BPS menyebut angka kemiskinan berhasil terpangkas menjadi 11%.
Namun lagi-lagi catatan apik ini kembali terkubur. Jumlah warga miskin kembali naik menjadi 24,2% saat krisis Asia melanda satu tahun kemudian.
Bicara perekonomian secara nasional, dia berhasil mengendalikan dan bahkan melesat tinggi. Ini membuat Indonesia sempat disebut sebagai Macan Asia.
Sebutan yang juga tersemat dengan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Perbedaannya ketiga negara tersebut berstatus negara maju, sedangkan Indonesia terjebak dengan sebutan “berkembang”.
Investasi, Upaya Kerek Pertumbuhan Ekonomi
Ingin cepat bangkit, Orba membuat langkah strategis pertama dengan membuka diri terhadap kehadiran investasi asing.
Sadar akan kondisi, Soeharto berfokus pada pembangunan ekonomi sehingga perlu berhubungan dengan dunia Barat. Hubungan harus terbangun dari awal lagi.
Era keterbukaan investasi memungkinkan membanjirnya dana bantuan asing untuk membangkitkan Indonesia.
Hasilnya, belum sebulan berkuasa menggantikan Soekarno, Freeport masuk ke Papua. Perusahaan itu meneken kontrak kerja sama dengan pemerintah untuk melakukan kegiatan penambangan di Papua.
Freeport Indonesia pun tercatat sebagai perusahaan asing pertama yang masuk ke Papua ketika perekonomian Indonesia tak stabil, bahkan cenderung buruk.
Soeharto pun memuji Freeport dengan mengatakan ini merupakan pelopor penanaman modal asing di Indonesia. Usaha ini menggambarkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia dalam membangun masa depannya.
Masuknya raksasa tambang dunia itu merangsang datangnya investor-investor lain ke Tanah Air.
USAID mencatat, per September 1972, pada rentang waktu 1967-1971, pemerintah sudah berhasil menarik masuk 428 investor asing. Mereka berinvestasi hingga USD1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi. Nilai yang besar saat itu.
Ekonomi di Rezim Orba: Cuan Tipis di Freeport
Kehadiran perusahaan raksasa Amerika itu ternyata sempat berkonflik dengan warga setempat. Khususnya Suku Amungme.
Sementara dari sisi pendapatan, dalam kontrak karya (KK) pertama, royalti untuk pemerintah Indonesia dari penambangan tembaga yang dilakukan Freeport hanya 1,5% dari harga jual jika harga tembaga kurang dari USD0,9/pound.
Royalti bisa mencapai 3,5% dari harga jual dengan catatan harganya USD1,1/pound. Sedangkan royalti untuk emas dan perak hanya 1% dari harga jual.
Terakhir, pemerintah Soeharto pada 1991 mengizinkan Freeport untuk tetap mengeksplorasi Papua dengan jangka waktu 30 tahun ke depan atau hingga 2021. Mereka mendapatkan hak perpanjangan sampai 2 kali 10 tahun.
Di samping rekonsiliasi dengan Barat, Presiden Soeharto juga menempuh kebijakan kembali masuk menjadi anggota IMF, Bank Dunia, dan PBB. Tiga lembaga dunia yang menjadi musuh Presiden Soekarno.
Masuknya Jakarta kembali ke IMF, Bank Dunia, dan PBB, memudahkan aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara Barat dan Jepang. Soeharto juga menghentikan status konfrontasi dengan Malaysia.
Berkibarnya Mafia Berkeley
Setelah membuka pintu investasi, langkah kedua Soeharto adalah memerangi hiperinflasi yang saat itu tembus 650%.
Untuk itu, dia mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi yang sebagian besar mendapatkan pendidikan di Berkeley University, Amerika Serikat. Mereka mendapat kepercayaan membuat rencana pemulihan ekonomi.
Teknokrat ekonomi inilah yang nantinya mendapat label “Mafia Berkeley” oleh David Wrentham dalam majalah Katolik, Ramparts, edisi 4 tahun 1970.
Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan pada tahun 1973. Mereka inilah yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden daripada Suharto.
Julukan mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika.
Salah satu nama yang dianggap sebagai pemimpin di antara Mafia Berkeley adalah Prof Dr Widjojo Nitisastro.
Pada suatu tanggal di bulan Agustus 1966, Widjojo Nitisastro bersama koleganya bertemu Presiden Soeharto di sebuah acara seminar militer.
Jenderal besar itu menanyakan kepada Widjojo dan yang lainnya, “Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki kesempatan untuk mengubah ekonomi?”
Pada momen itu nampaknya Widjojo berhasil meyakinkan Soeharto bahwa dirinya bisa menjadikan ekonomi Indonesia lebih maju.
Dan memang omongannya memang benar adanya. Belakangan Widjojo berhasil mengantar Indonesia selamat dari hiperinflasi. Karena itu, dia tersebut sebagai arsitek perekonomian Orde Baru.
Pada 1971, Widjojo menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Posisi strategis yang tak pernah lepas hingga awal tahun 1980-an.
Sebagai informasi, pada masa Orde Baru, Bappenas berperan sangat penting dan krusial dalam menetapkan langkah-langkah pembangunan. Widjojo juga dikenal punya etos kerja yang tinggi dan berani mengambil keputusan.
Konsep ekonomi Widjojo seringkali tersebut awak media sebagai Widjojonomics. Yakni, modernisasi sistem ekonomi yang mencakup pasar fiskal dan utang luar negeri. Harapannya akan melahirkan trickle down effect.
Konsep trickle down effect yang diadopsi dari Amerika itu adalah memberi kelonggaran pada orang kaya atau pemilik modal. Dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Swasembada Tapi Masih Impor
Hasilnya luar biasa. Pertumbuhan ekonomi melesat dan terpenting hiperinflasi berhasil terpangkas. Imbasnya, investasi asing mengucur deras dan pendapatan domestik bruto bergerak stabil.
Melalui kebijakan para ekonom inilah Indonesia memperoleh julukan Macan Asia. Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita yang dicanangkan Presiden Soeharto juga sukses.
Salah satu tanda kesuksesannya adalah pada 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Saat itu FAO, organisasi pangan PBB, memberi penghargaan kepada Presiden Soeharto.
FAO menilai Presiden daripada Soeharto berjasa dalam menyusun kebijakan sehingga Indonesia akhirnya berhasil mencapai swasembada pada 1984.
Sayangnya status itu tak bertahan lama. Memasuki dekade 90-an, Indonesia kembali mengimpor beras dari negara lain. Buruknya lagi, tahun 1995 ketergantungan terhadap impor beras semakin tak terbendung yakni hingga 3 juta ton.
Belakangan muncul data yang mengungkap saat berstatus swasembada pangan, ternyata ketika itu masih mengimpor beras.
“Dulu pada tanggal 10 November 1984 Indonesia berstatus swasembada pangan. Namun saat itu masih ada impor 414.000 ton,” kata Amran Sulaiman, Menteri Pertanian di periode pertama Jokowi berkuasa.
Ekonomi di Rezim Orba: Konsep Widjojonomics Gagal
Sampai akhirnya tersadari bahwa pencapaian ekonomi dengan pendekatan konsep Widjojononomics dan trickle down effect hanya menyentuh permukaan. Ini justru meninggalkan lubang besar setelahnya.
Keinginan Widjojo melibatkan negara dalam urusan ekonomi tidak dibarengi dengan penguatan institusi. Ini membuka ruang lebar munculnya praktik korupsi dan KKN oleh Soeharto dan kroni-kroninya.
Penulis dan ekonom Jonathan Temple dalam laporan Growing Into Trouble: Indonesia After 1966 menjelaskan sifat pemerintahan Soeharto yang hampir monarki.
Kondisi itu menciptakan lahirnya para pemburu rente maupun kroni kapitalis yang terdiri atas konco-konco dekat. Bahkan sampai pada anak-anaknya yang menguasai berbagai sektor ekonomi.
Cengkraman kuat Soeharto terhadap kekuasaan memungkinkan orang-orang dekatnya leluasa bertindak manipulatif demi kepentingannya.
Sementara itu, akademisi Michael T Rock dalam paper The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia, mengakui para teknokrat seperti Widjojo mampu mengendalikan ekonomi di tataran makro. Misalnya, anggaran, kebijakan moneter, sampai nilai tukar rupiah.
Namun di tataran bawah atau di level ekonomi mikro, Soeharto dan kroni-kroninya yang berkuasa. Mereka mengontrol segala lini ekonomi mulai dari hutan minyak gas sampai infrastruktur.
KKN di Segala Lini
Michael T Rock menyebut, tak jarang mereka juga mengintervensi kebijakan perdagangan dan investasi. Akses pasar, alokasi kredit sampai kontrol atas kontrak yang pemerintah teken dengan sejumlah cukong keturunan China memperdagangkan sebagian dari keuntungan bisnis mereka untuk perlindungan politik.
Keluarga Soeharto juga terlibat dalam berbagai lini bisnis seperti perbankan, real estate, telekomunikasi, mobil nasional, jalan tol sampai pembangkit listrik.
Perlahan tapi pasti politisasi ekonomi yang Soeharto tempuh akhirnya berdampak pada korupsi kolusi dan nepotisme. Ini semakin memperburuk situasi di tengah krisis yang mengadang Indonesia pada akhir 90-an.
Salah satu program yang kental dengan KKN adalah Mobil Nasional alias Mobnas dengan merek Timor. Kehadiran merek tersebut terklaim sebagai keinginan pemerintah memiliki mobil nasional.
Untuk merealisasikan mimpi itu, Soeharto merilis Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1996. Inpres memerintahkan Menperindag, Menkeu, dan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM mempercepat kehadiran mobil nasional dengan merek sendiri, produksi dalam negeri, dan menggunakan komponen buatan lokal.
Kemudian berdirilah PT Timur Putra Nasional (TPN) oleh putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Lalu TPN membuat mobil secara massal menggunakan merek Timor.
Terkendala, Presiden ke-2 RI meneken Perpres Nomor 42 Tahun 1996 yang menegaskan mobil nasional masih terkendala.
Ekonomi di Rezim Orba: Mobnas, Tapi Produksi di Luar Negeri
Nah melalui Perpres ini, Soeharto memutuskan mobil nasional yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia.
Regulasi ekonomi di rezim Orba ini menjadi lampu hijau Timor meluncurkan S515 pada 8 Juli 1996. Ini adalah rebadge KIA Sephia yang diimpor dari Korea Selatan.
Harganya sangat miring, bahkan separuh dari produk kompetitor. Sebab, mobil sedan ini terbebas dari bea masuk sebagai barang mewah impor sebesar 60%.
Imbasnya, puluhan ribu S515 terjual di Indonesia sebelum akhirnya perusahaan berhenti beroperasi pada 1998. Ini lantaran Jepang, AS, dan Uni Eropa melaporkannya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Pada 21 Januari 1998 Soeharto merilis Keppres Nomor 20 Tahun 1998 yang mencabut Keppres Nomor 42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional.
Regulasi itu juga menghapus Inpres Nomor 2 Tahun 1996. Inilah akhir dari perjalanan mobil nasional Indonesia dalam ekonomi di rezim Orba.
Masih Utang ke Negara
Meski sudah tak beroperasi pada 1997, PT TPN masih mempunyai utang terhadap negara. Utang kepada negara plus biaya administrasi piutang negara 10% senilai Rp2,6 triliun.
Inilah yang membuat Satgas BLBI menyita jaminan TPN berupa tanah seluas 124 hektare pada awal November 2022. Nilainya sekitar Rp600 miliar.
Keluarga besar Soeharto yang familiar sebagai Keluarga Cendana hingga kini masih eksis di dunia bisnis. Tommy Soeharto, misalnya, masih berkecimpung di PT Humpuss Maritim Internasional Tbk (HUMI).
Selain itu, dia ikut mengembangkan Lor Inn Hotel. Dengan bendera PT Lor Internasional Hotel, dia mengelola hotel mulai kelas budget hingga bintang 5.
Taman Wisata Mekarsari juga masih dalam pengelolaan Siti Hutami Endang Adiningsih yang sering tersapa Mamiek. Putri terkecil dari almarhum Soeharto dan Ibu Tien.
Praktik KKN Orde Baru itu memang tak memicu krisis moneter di Asia pada waktu itu. Namun krisis kepercayaan rakyat telah terjadi.
Ketika krisis finansial Asia pada tahun 1997 benar-benar terjadi, maka perekonomian Indonesia pun hancur kembali. Harga-harga barang melambung di mana inflasi mencapai lebih dari 70%.
Kondisinya makin fatal ketika nilai tukar rupiah tersungkur hingga berada di atas Rp15.000 per USD dari sebelumnya Rp2.500.
Keajaiban ekonomi di rezim Orba dengan sentuhan “Raja Midas” yang dibangga-banggakan perlahan luntur tak berbekas. Ini menyisakan ketegangan sosial dan kekacauan panjang yang efeknya masih terasa hingga kini. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"