KONTEKS.CO.ID – Kesenjangan Infrastruktur Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Selain anggaran, sumber daya dan wilayah kepulauan harus menjadi perhatian.
Terkait hal ini, Menteri Keuangan atau Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan sejumlah tantangan sekaligus solusi dalam mengatasi isu kesenjangan pembangunan infrastruktur.
Menkeu mengatakan, masalah kesenjangan infrastruktur Indonesia berdampak pada daya saing dan produktivitas sehingga harus segera teratasi.
Dia menyampaikan, tantangan pertama berkaitan dengan sumber daya. Ketersediaannya memang terasa cukup banyak, tapi sumber pembiayaan memiliki perbedaan dalam memandang risiko dan imbal laba yang diharapkan.
Dengan demikian, menurut Menkeu, ini menjadi salah satu poin yang harus dibahas untuk menangani kesenjangan infrastruktur.
Pembiayaan Kesenjangan Infrastruktur Indonesia
Bagi Indonesia, tegas Sri Mulyani, pemerintah punya alokasi dana untuk infrastruktur dalam bentuk belanja dan pembiayaan atau investasi. Tetapi besarannya relatif terbatas kalau masing-masing berdiri sendiri.
Karena itu, pemerintah termasuk pemda harus menarik lebih banyak modal pendanaan. Terlebih, tiap-tiap pemerintah daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda-beda di mana hal tersebut juga memerlukan intervensi dukungan kebijakan dari pemerintah pusat.
Tantangan kedua menurut Sri Mulyani berhubungan dengan pipeline dan juga partisipasi pihak swasta. Pipeline ini termasuk persiapan struktur dari pembiayaannya.
“Jadi ini tidak hanya ‘oh, saya akan membangun rel kereta api seperti ini, jalan tol seperti ini’, tapi kita juga mempertimbangkan siapa yang akan membiayai proyek ini. Nah itu bergantung pada seberapa menariknya infrastruktur yang akan terbangun,” katanya saat mengikuti event High Level Dialogue on Promoting Sustainable Infrastructure Development yang diselenggarakan di Jakarta, melansir Jumat 25 Agustus 2023.
Risiko Proyek Infrastruktur
Saat ada kesepakatan dengan swasta, lanjut dia, maka selera risikonya juga berbeda. Pihak swasta ingin berpartisipasi dengan catatan punya harapan besaran laba. Jadi, kembali bahwa risiko masih menjadi tantangan utama.
“Biasanya pemerintah akan mengintervensi tidak hanya dalam belanjanya, tapi bagaimana kita bisa menyediakan pengembangan pipeline proyek. Oleh karena itu, kita punya Project Development Facility (PDF) di Indonesia. Anda bahkan bisa menjamin sebagian risikonya sehingga proyek tersebut bisa menarik sektor swasta,” klaim Sri Mulyani.
Risiko itu bisa berwujud risiko politik, bencana alam, serta kebijakan. Misalnya, dalam sektor energi listrik atau jalan tol, kebijakan pemerintah mengatur tarif bisa berpengaruh pada pendapatan.
“Yang ketiga, tentang ekosistem. Bagi Indonesia kita sangat perlu untuk mengembangkan sejumlah instrumen, baik itu pembiayaan. Sektor swasta ingin berpartisipasi tapi dalam bentuk pinjaman ke pemerintah,” paparnya.
“Jadi penerbitan green bonds, sukuk, ini adalah bentuk partisipasi pihak swasta dalam bentuk pinjaman. Jadi kami meminjam dari mereka,” katanya lagi.
Menkeu menambahkan, jika sektor swasta menginginkan selera risiko yang lebih tinggi. Yakni, dalam bentuk pembiayaan ekuitas, maka mereka memiliki ekspektasi yang juga lebih tinggi lagi terkait imbal laba yang akan diperoleh.
“Dalam pembiayaan ekuitas ini, ini adalah kerangka kerja risiko yang harus dihadapi. Karena itu, instrumen terkait penjaminan dan manajemen risiko akan mengambil peranan,” ujarnya.
Menkeu pun memaparkan upaya pemerintah mengajak swasta dalam bentuk public-private partnership secara berkelanjutan dan transparan.
“Di Indonesia, kami juga membentuk Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT SMI, IIF, penjaminan seperti PT PII, dan Indonesia Sovereign Wealth Fund. Semuanya untuk menyediakan keterlibatan langsung dengan sektor swasta, dengan level selera risiko dan level kerumitan yang berbeda-beda,” tutur Sri Mulyani. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"