KONTEKS.CO.ID – Risiko dan ketidakpastian global kian meningkat seiring jebloknya pengelolaan ekonomi tiga negara maju di dunia.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indarwati, pun memperingatkan pemerintah daerah terkait kondisi menantang tersebut. Di mana risiko dan ketidakpastian global semakin meningkat.
Hal itu terpicu tiga negara atau kawasan dengan perekonomian terbesar, seperti Amerika Serikat, China, dan Eropa yang harus menghadapi situasi sulit untuk mengendalikan atau mengelola perekonomiannya.
“Dunia memang sedang dalam dinamika yang luar biasa sangat volatile. Negara-negara besar seperti Amerika, China, dan Eropa sedang di dalam situasi untuk mengendalikan atau mengelola ekonominya secara tidak mudah,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2023 yang tergelar di Kementerian Dalam Negeri, Senin 6 November 2023.
“Dan itu dampaknya ke seluruh dunia, karena tiga daerah ini memengaruhi dunia lebih dari 40 persen,” kata Menkeu.
Ia menguatarakan, tingginya inflasi di Amerika menyebabkan The Fed menaikkan suku bunga secara ekstrim sebesar 5%. Angka itu tembus dalam jangka waktu 14 bulan.
Keadaan ini menyebabkan capital outflow dari seluruh negara. “Ini mendorong seluruh dunia mengalami depresiasi dari mata uangnya. Pasti depresiasi itu mempengaruhi inflasi, namanya imported inflasi. Inflasi yang berasal dari barang barang impor terkena dampak dari kebijakan di AS,” tuturnya.
Kondisi itu terperparah oleh China sebagai negara penyumbang perekonomian kedua terbesar di dunia. Mereka turut dalam kecenderungan ekonomi yang melemah.
Kondisi ini juga memengaruhi harga-harga komoditas di Indonesia dengan permintaan terhadap komoditas menjadi menurun.
Sri Mulyani menambahkan, wilayah Eropa terkena dampak tingginya harga minyak karena perang Ukraina-Rusia. Adanya perang antara Hamas dengan Israel berpotensi juga melebar ke wilayah Timur Tengah.
“Ini adalah gejolak dunia yang harus terus kita waspadai. Karena gejolaknya bertubi-tubi, maka perekonomian dunia juga berpengaruh menjadi lebih lemah karena setiap kali mau pulih sesudah COVID. Lalu mengalami gejolak entah itu karena perang, entah karena kemudian harga komoditas,” katanya kembali mengingatkan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"