KONTEKS.CO.ID – Presiden Joko Widodo merasa senang dengan banyaknya permintaan Pekerja Migrain Indonesia (PMI) melalui berbagai skema, seperti private to private dan business to business.
Hal ini disampaikannya saat memberikan sambutan pada pelepasan PMI ke negara tujuan Korea Selatan, pada Senin 17 Oktober 2022, di Hotel El Royale, Jakarta.
“Saya senang ini akan banyak lagi private-to-private, B to B yang permintaannya juga banyak. Ini juga kalau tidak disiapkan. Ini sebuah keterampilan yang tidak mudah,” ujarnya.
Menurut Jokowi ini tugas besar bagi Menteri Tenaga Kerja dan Kepala BP2MI untuk menyiapkan pekerja-pekerja terampil dengan skill tinggi. Presiden Jokowi menjelaskan, saat ini total PMI yang bekerja di luar negeri mencapai sembilan juta orang. Sayangnya baru setengah dari jumlah tersebut merupakan pekerja legal secara hukum.
Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo, Komisi Nasional (Komnas) Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK) menyampaikan keadaan sesungguhnya.
Menurut Wasekjend 1 Komnas LP-KPK Amri Piliang, penempatan dengan skema P to P dan B to B hingga saat ini masih terjadi stagnasi dan diskriminasi terhadap 10 jenis jabatan tertentu. Padahal, seharusnya semua jabatan dibebaskan dari biaya penempatan PMI.
Amri menegaskan persoalan yang membebani PMI adalah pembebanan biaya penempatan dan penjeratan hutang melalui Kepka BP2MI No.328 Tahun 2022 yang bertentangan dengan Undang-undang No 18 Tahun 2017 Pasal 30 dan Perka BP2MI No.09 Tahun 2020.
Menurutnya saat ini terjadi praktik penjeratan hutang berkedok kredit usaha rakyat (KUR) PMI dan Praktik PMI pura-pura bayar lunas di muka sebagaimana tertuang dalam Surat Pernyataan Biaya dan Gaji (SPBG).
“Kasihan para pekerja migrain ini. Mereka masih mendapat pembebanan biaya penempatan senilai 17 jutaan belum termasuk biaya Pelatihan dan Uji kompetensi senilai 7 jutaan melalui pinjaman pihak ketiga. Akibatnya, para pekerja migrain ini harus dipotong gajinya selama 9 sampai 10 bulan. Kira-kira sekitar 63 juta rupiah,” ujar Amri.
Amri mencontohkan soal penempatan PMI tujuan Korea Selatan dengan skema G to G yang ditempatkan oleh BP2MI. Menurutnya, di Korsel tingkat pekerja migrain yang melarikan diri sangat tinggi karena beratnya potongan gaji.
“Saat mereka kabur, mereka akan menjadi PMI ilegal. Kenapa mereka kabur? karena tingginya beban biaya penempatan dan pelatihan yang harus dikeluarkan oleh PMI kepada Lembaga Pelatihan/LPK untuk penempatan ke Korea Selatan melalui skema G to G oleh BP2MI. Setiap PMI harus memeras keringatnya untuk membayar Penjeratan hutang berkedok KUR/KTA PMI,” katanya.
Dan pada akhirnya, KUR yang didapatkan mereka tak terbayar. Kredit macet pun terjadi hingga Non Performing Loan (NPL) hampir 10 persen. Sehingga bank penyalur KUR BNI menghentikan sementara fasilitas KUR/KTA PMI.
Kesalahan kebijakan dan aturan Kepala BP2MI sebenarnya sudah terungkap saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR dengan BP2MI dan Kementerian Tenaga Kerja pada 8 Juni 2022. Malah dalam RDP tersebut, DPR mendesak kepala BP2MI untuk membatalkan seluruh keputusan kepala badan yang memuat struktur biaya sehingga sesuai dengan perundangan.
“Ini yang belarut-larut. Kepala BP2MI malah kembali menerbitkan keputusan No 328 Tahun 2022 yang membebankan Biaya Penempatan 100% kepada PMI dan penjeratan hutang,” ujar Amri.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"