KONTEKS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi (MKE) mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Pasalnya, kerjasama Internasional yang dikenal dengan Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA) itu berpotensi bertentangan dengan prinsip pengutamaan perlindungan HAM, kedaulatan ekonomi rakyat, dan pemenuhan prinsip demokrasi.
Direktur Sahita Institute (HINTS), Olisias Gultom mengatakan, dalam konteks kedaulatan ekonomi, Indonesia-EU CEPA jelas bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merealisasikan transformasi ekonomi Indonesia dengan menciptakan ekonomi berdaya saing tinggi melalui agenda penghiliran industri nasional.
Olisias menjelaskan, aturan di dalam Indonesia-EU CEPA justru meliberalisasi berbagai aspek yang dibutuhkan oleh industry kecil dan menengah Indonesia.
Beberapa ketentuan tersebut seperti pelarangan kewajiban kandungan lokal, liberalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menghilangkan prioritas pada industry kecil dan menengah, pelemahan peran BUMN, dan melarang pembatasan ekspor untuk kewajiban pengolahan dalam negeri.
Dia juga menyebut, Indonesia sedang di bawah bayang-bayang kolonialisme gaya baru yang dilakukan melalui Indonesia-EU CEPA.
“Komitmen pemerintah untuk memproteksi industry nasional, khususnya industry yang berbasis ekonomi kerakyatan, akan terancam jika Perjanjian perdagangan bebas seperti Indonesia-EU CEPA melarang penerapan aturan tentang pembatasan ekspor mineral mentah dan kewajiban pengolahan dalam negeri, serta pensyaratan kandungan lokal,” ujar Olisias pada Jumat, 8 Desember 2023.
“Jika perjanjian semacam ini ditandatangani hari ini oleh Presiden Jokowi, tentunya Indonesia harus menyesuaikan kebijakan nasionalnya dengan isi perjanjian tersebut. Dan dalam waktu jangka Panjang ke depan, Pemerintah Indonesia tidak dapat mengamandemennya atau harus berhadapan dengan berbagai gugatan perdagangan internasional,” katanya.
Peneliti dari Transnational Institute, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa dalam konteks agenda hilirisasi industry untuk produksi baterai listrik yang digadang-gadang Pemerintah, Indonesia-EU CEPA hanya akan berkontradiksi dengan berbagai kebijakan proteksi industry yang telah diterapkan oleh Indonesia selama ini.
Menurutnya yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah kebijakan yang melindungi industry rakyat dan hal ini tidak cocok dengan semangat Indonesia-EU CEPA yang mendorong liberalisasi secara luas.
Uni Eropa adalah negara yang menentang keras kebijakan Indonesia mengenai pelarangan ekspor mineral mentah untuk menjalankan kewajiban pengolahan di dalam negeri. Dan Indonesia telah kalah atas gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait dengan kebijakan tersebut.
Rachmi juga menyebut, salah satu tujuan utama Uni Eropa mendesak perluasan Kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara ASEAN, Latin Amerika, dan Afrika adalah untuk mengamankan rantai pasokan sumber mineral penting untuk Pembangunan industrinya terutama sejak Komisi Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang EU Critical Raw Material Act (CRMA).
Tentunya, Indonesia-EU CEPA akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis EU tersebut agar dapat mengakses bahan baku penting di Indonesia.
“EU akan memerangi peraturan perdagangan yang “tidak adil” terkait mineral penting, khususnya penghapusan pembatasan ekspor mineral mentah dan penerapan bea ekspor yang selama ini diterapkan Indonesia, termasuk pelemahan peran BUMN yang berperan sentral dalam agenda hilirisasi industri,” ujarnya.
“Jika ketentuan ini Kembali disepakati tentu akan sulit bagi pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan ekonominya dan Kembali berpotensi digugat di WTO dan arbitrase internasional melalui mekanisme Investor to State Dispute Settlement (ISDS),” tukas Rachmi.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"