KONTEKS.CO.ID – “Clogs to Clogs is only three generation” adalah pepatah lama Inggris yang ada sejak akhir abad ke-19.
Pepatah ini menggambarkan situasi ekonomi mayoritas orang tatkala kekayaan tidak akan bertahan lebih dari tiga generasi.
Riset dari The Economist Intelligence Unit pada tahun 1980an menyebutkan, sekitar 95% kekayaan sebuah keluarga tidak akan bisa bertahan lebih dari tiga generasi.
Penelitian EIU kembali tervalidasi ketika pada 2012 Harvard Business Report (HBR), juga menyatakan hal serupa. Menurut riset HBR, tingkat kegagalan bisnis keluarga meningkat sampai di angka 97%.
Salah satu contoh kekayaan tidak akan bertahan melebihi tiga generasi di Indonesia datang dari salah satu perusahaan jamu, yaitu Nyonya Meneer. Perusahaan asal Semarang, Jawa tengah, yang berdiri pada 1919 itu pada mulanya memiliki prospek yang bagus dan nama yang besar.
Sayangnya perusahaan ini harus bangkrut karena utang macet sebesar Rp89 miliar dan akhirnya dinyatakan pailit pada 2017.
Pola kebangkrutan seperti sudah sangat sering terjadi. Polanya, generasi pertama memulai kekayaan mereka dari nol. Generasi ini berkorban dan bekerja keras untuk memperbaiki kondisi keluarga agar nantinya keturunan mereka tidak memiliki nasib yang sama seperti mereka dan generasi atasnya.
Selanjutnya, generasi kedua yang tidak mengalami perjuangan berat. Tetapi karena menyaksikan secara langsung perjuangan orang tuanya, generasi kedua memiliki rasa tanggung jawab untuk mempertahankan kekayaan keluarganya.
Berbeda dengan generasi ketiga yang tidak mengalami ataupun menyaksikan perjuangan dari kedua generasi sebelumnya. Mereka hanya menikmati hasil dari kerja keras generasi sebelumnya secara cuma-cuma. Itu sebabnya tidak memiliki rasa ingin berjuang ataupun bertanggung jawab atas harta yang mereka miliki.
Survei HBR
Wajar saja sebenarnya bagi sebuah bisnis untuk hancur sewaktu-waktu. Menurut survei dari HBR, generasi pertama akan berhasil sebanyak 30% dalam usahanya. Generasi kedua yang hanya berhasil 13% dari 30% keberhasilan generasi pertama.
Sedangkan generasi ketiga yang hanya mampu berhasil 5% dari 13% milik generasi kedua.
Data tersebut menunjukan bahwa meskipun tingkat keberhasilan selalu menurun, akan tetapi di setiap generasi akan memiliki potensi kegagalan mereka masing masing.
Meski begitu, tidak sedikit juga bisnis yang bisa bertahan melebihi tiga generasi dan bahkan jadi melegenda namanya.
Di Indonesia, kesuksesan entitas bisnis terlihat dari bisnis Ciputra Group. Sedangkan merek dagang otomotif Jepang seperti Toyota bahkan namanya kini semakin mendunia.
Terlepas dari itu semua, bisnis yang terancam berakhir di generasi ketiga hanyalah pandangan yang terlalu menyederhanakan masalah.
Peluang kelangsungan hidup bisnis sebenarnya dapat tinggi, terutama jika pemiliknya menunjukkan konsistensi dan motivasi yang kuat, serta mampu mewariskan nilai-nilai tersebut ke generasi penerus. Dengan demikian, mitos tersebut bisa dikesampingkan. (Al Gregory RP Radjah – Jurnalis Magang)***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"