KONTEKS.CO.ID – Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi mengaku pernah mendapat tagihan tunggakan pinjol paylater.
Padahal, bukan dirinya yang memiliki tunggakan tersebut.
“Baru-baru ini saya ditagih sama debt collector,” katanya saat memberi sambutan di Penandatanganan Kerja Sama OJK dan Kemenko Perekonomian pekan lalu.
Kisahnya bermula pada suatu hari, dia mendapat telepon dari debt collector yang ingin menagih tunggakan paylater.
Dia mendapat telepon karena nomor ponsel miliknya telah seseorang gunakan sebagai kontak darurat pinjaman online (pinjol).
“Yang berutang mantan asisten di tempat bekerja kami sebelumnya. Mungkin nama saya jadi guarantor ya,” kata perempuan yang punya nama panggilan Kiki itu.
Baginya, hal tersebut sangatlah ironis mengingat dia kerap melakukan sosialisasi terkait literasi keuangan di berbagai tempat.
“Saya merasa, waduh, saya ini sosialisasi dari ujung ke ujung, ternyata orang-orang dekat saya juga belum tersosialisasi,” ujarnya penuh sesal.
Mayoritas masyarakat akan merasa kesal jika menerima tagihan padahal bukan mereka yang melakukan pinjaman.
Apalagi, jika seseorang tak mengetahui nomor ponselnya telah seseorang gunakan sebagai guarantor atau nomor darurat dari orang tak bertanggung jawab.
Kiki mengingatkan, penagihan yang melibatkan kontak yang tak bersangkutan termasuk dalam pinjol ilegal.
“Mesti dibedain pinjol legal dan ilegal. Kalau pinjol legal itu cuma tiga (syarat). Camilan, camera microphone sama location, tapi kalau udah sampai minta kontak-kontak, itu berarti ilegal,” jelas Kiki.
Data Pribadi dalam Pinjaman Online
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2027 mengenai Perlindungan Data Pribadi menegaskan, pihak yang menggunakan data pribadi dari orang lain harus mengetahui maksud dan tujuan penggunaan tersebut sesuai dengan kehendak pemilik data pribadi.
Bahkan, Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga menyatakan, pengelola data pribadi wajib mendapatkan persetujuan yang jelas dan sah dari individu yang bersangkutan sebelum dapat memproses data pribadi tersebut.
Lantas, orang yang menjadi kontak darurat harus memberikan persetujuan secara langsung. Tidak bisa serta merta berdasarkan persetujuan dari si peminjam saja.
Sebagai mitigasi, bentuk persetujuan pemrosesan data pribadi harus atas persetujuan tertulis atau terekam, baik secara elektronik ataupun non-elektronik.
Jika persetujuan itu memuat tujuan lain, harus memenuhi ketentuan yang dapat dibedakan secara jelas dengan hal lain dan dapat dipahami.
Pasal 57 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi menyatakan, tindakan penyalahgunaan data pribadi oleh penyelenggara pinjol yang bertindak sebagai pengelola data pribadi tanpa adanya persetujuan untuk pemrosesan data pribadi dapat mengakibatkan sanksi administratif.
Sanksi tersebut mencakup peringatan tertulis, penghentian sementara seluruh kegiatan pemrosesan data pribadi, bahkan penghapusan atau pemusnahan.
(Penulis: Al Gregory RP Radjah – Jurnalis Magang)***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"