KONTEKS.CO.ID – Guru Besar dan dosen di sejumlah perguruan tinggi mengaku bingung dengan kebijakan Presiden Joko Widodo terkait naiknya dana bantuan sosial atau bansos setiap tahunnya. Terutama di tahun politik, 2024.
Untuk itu, muncul gagasan dari akademisi untuk menggelar audit investigasi bansos.
Kebingungan muncul karena antara data dan tindakan yang berbeda. Bagaimana tidak, di satu sisi pemerintah menyebut angka kemiskinan turun. Namun pada sisi lain, anggaran bansos untuk warga miskin terus menggelembung.
Guru Besar Universitas Paramadina: Bansos Jadi Alat Politik
“Bansos menjadi alat politik. Indikatornya, anggaran besar-besaran bansos Rp500 triliun. Ini jumlah terbesar salama reformasi, (padahal) tidak terdukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan,” ungkap Guru Besar Universitas Paramadina, Prof Didin S Damanhuri pada kegiatan diskusi daring yang Universitas Paramadia dan LP3ES gelar, mengutip Kamis 9 Februari 2024.
Didin menjelaskan, kalau bansos yang keluar sangat besar, itu mengindikasikan kemiskinan kembali meningkat. Tapi faktanya, kemiskinan sudah agak menurun.
Dengan demikian, lanjut dia, ini penanda bansos telah menjadi alat politik. Apalagi terbagikan menjelang Pilpres 2024. Fatalnya lagi, Presiden Jokowi sendiri yang melakukan pembagian bansos. Padahal ini job desk menteri sosial.
Sementara kuasa pemegang anggaran bansos ada di Menteri Sosial, Tri Rismaharini. Yang bersangkutan sendiri tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit.
“Ini memperkuat terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan pilpres. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 02 menang, maka bansos tidak lagi dibagikan,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik Otoritarian. Suara-suara kampus dan civil society tidak tergubris, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa.
“Ini yang tersebut sebagai gejala otorianisme baru,” jelasnya.
Butuh Audit Investigasi Bansos
Dosen UGM, Elan Satriawan, mengamini pendapat tersebut. Ia mengatakan, bansos saat ini memang sudah menjadi alat tujuan politik.
Strategi penanggulangan kemiskinan yang terlalu “happy” pada bansos akan menjadikan bansos rentan politisasi. “Bansos penting untuk penanggulangan kemiskinan, tapi masih begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk menjadikan bansos efektif seperti yang diharapkan,” tuturnya.
“Tanpa politisasi masalah-masalah itu masih terhampar di depan kita. Apalagi ada masalah politisasi,” tambahnya.
Untuk memerangi kemiskinan, sambung Elan, caranya bukan melalui program bansos. Sebab perannya cuma jaring pengaman sosial.
Dosen Universitas Indonesia, Ninasapti Triaswati, juga menyoroti anggaran bansos yang naik tahun ini.
Ia menilai kenaikan dana bansos menjadi Rp496 triliun dibandingkan 2023 yang hanya Rp476 triliun memang besar.
Persoalannya bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut, tapi juga masalah pemerataan. Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi COVID-19. Lalu turun menjadi Rp397 triliun di 2021.
Kemudian naik lagi pada 2022 menjadi Rp431 triliun dan melonjak naik Rp476 triliun satu tahun kemudian. “Dari angka-angka itu ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul, kepentingan politik?” tukas Ninasapti.
Nisasapti mengatakan, peningkatan bansos hanya bisa terjadi dalam situasi insidental seperti di masa COVID-19. Ini menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan dana bansos sedemikian tinggi.
Tambahan dananya pun terambil dengan memotong anggaran. Karena itu, perlu adanya audit investigasi.
“Di sana timbul pertanyaan, sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar. Apakah itu akan menjadi sebuah korupsi kebijakan? Yang seharusnya kebijakan pengentasan kemiskinan diukur dengan target dan ketepatan sasaran,” tambahnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"