KONTEKS.CO.ID – Tom Lembong atau Thomas Trikasih Lembong, mengaku menyesal pernah menjadi bagian dari kabinet di Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Menyesal dalam konteks ini adalah saat menjabat strategi yang ia jalankan dalam membenahi ekonomi Indonesia tak sepenuhnya berjalan.
Sekadar informasi, Co-Captain Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), ini tercatat pernah menjadi menteri di Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ia pernah mengabdi pada Kabinet Kerja 2014-2019. Tom Lembong pernah merasakan jabatan sebagai Menteri Perdagangan selama satu tahun, yakni 12 Agustus 2015-27 Juli 2016.
Kemudian menjabat posisi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada periode 27 Juli 2016 – 23 Oktober 2019.
“Dengan semakin mendalami data-data ekonomi, saya ini benar-benar sedih. Sedih banget, prihatin. Dan saya punya rasa sesal, nyesel yang lumayan besar karena saya pernah menjadi bagian dari pemerintah,” ungkapnya dalam diskusi Pemuda Harsa: Bangga Bicara di Jakarta, mengutip Sabtu 10 Februari 2024.
Termasuk, sambung dia, saat menjalankan strategi yang menurut data yang terlihat ternyata rada-rada tidak berhasil. “Kalau mau lebih keras lagi, ya banyak gagal,” imbuhnya.
Tom Lembong Sebut Jumlah Kelas Menengah Indonesia Tak Tumbuh
Tom menambahkan, salah satu kegagalan yang ia maksud adalah pemerintah tidak dapat mengatasi keadaan di mana dalam satu dekade terakhir jumlah kelas menengah di Indonesia tidak tumbuh signifikan.
Ia juga membeberkan data yang lebih akurat dan representatif dengan realita daripada hanya sekadar data pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Produk Domestik Bruto (PDB).
Tom pun menyinggung data penjualan sepeda motor. Tahun 2013 lalu terjadi puncak penjualan sepeda motor hingga tembus 7,9 juta unit terjual.
Kemudian dari tahun ke tahun, angka itu mengalami penurunan. Apalagi terbentur pandemi COVID-19. Dan hingga saat ini angka serapan motor hanya pada kisaran 5 juta unit per tahun.
Menurut dia, 10 tahun terakhir kelas menengah Indonesia tidak berkembang. “Minimum paling baik itu stagnan, tidak bertambah dan ada potensi cukup besar bahwa kelas menengah kita lalu menciut karena sekali lagi, bagi saya indikator yang paling tepat itu ya jumlah sepeda motor,” ujarnya.
Kondisi yang sama juga terjadi pada pertumbuhan pembelian mobil dan barang elektronik. Jumlahnya terus penurunan dari tahun ke tahun.
Dampak Investasi Padat Modal, Bukan Padat Karya
Keadaan ini bisa terjadi lantaran ketimpangan. “Sepuluh tahun terakhir, fokus kebijakan ekonomi adalah investasi. Sebagai mantan Kepala BKPM, saya tahu banget, saya pernah jadi salesman republik ini untuk menarik investor, menarik investasi. Namun umumnya investasi itu masuk ke sektor-sektor yang padat modal, bukannya padat karya,” jelasnya.
Aliran investasi, sebut Tom, berfokus ke industri seperti pertambangan hingga perkebunan. Tetapi, berdasarkan penilaiannya, hanya 20% masuk ke Indonesia dan bisa masyarakat nikmati.
Karena itu, tegas dia, sudah waktunya pemerintah turut mendorong perkembangan sektor jasa. Sayangnya, industri itu hanya 18% dari ekonomi nasional.
“Jumlahnya tak mencapai seperlimanya. Sedangkan yang namanya sektor jasa itu kalau terjumlahkan itu 52% dari ekonomi kita. Jadi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, perbankan, jasa transportasi, angkutan, perhotelan, orang sering lupa bahwa sektor properti, real estate itu bagian dari sektor jasa, perumahan, perkantoran, bangunan, jasa konstruksi, itu semua sektor jasa. Jadi, sektor jasa itulah padat karya,” ujarnya.
“Apakah itu hotel, apakah itu sopir truk, apakah itu sopir bus, apakah itu pilot pesawat, apakah itu pramugara. Pramugari itu semuanya lapangan kerja. Lapangan kerja di situ, itu padat karya, ya. Kalau kita ke smelter nikel, itu kerjanya gak banyak, apalagi pabrik baterai, atau pabrik mobil listrik,” paparnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"