KONTEKS.CO.ID – Ekonomi China sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Pasar properti di negara ini sedang dalam kesulitan, tekanan deflasi meluas dan pasar saham telah mengalami volatilitas yang signifikan.
Data terbaru dari Biro Statistik Nasional China juga menyajikan gambaran yang tidak menyenangkan.
Melansir dari Yahoofinance, aktivitas manufaktur mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut. Hal itu karena menurunnya permintaan.
Tren ini bahkan menyebabkan perubahan persepsi mengenai kesehatan ekonomi China di kalangan investor dan ekonom.
Salah satunya, Allianz yang akhirnya merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomin China.
Kini, mereka memperkirakan perekonomian China akan tumbuh rata-rata sebesar 3,9% antara tahun 2025 hingga 2029.
Padahal sebelumnya, sebelum pandemi, mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi China sebesar 5 persen.
Mantan pejabat Dana Moneter Internasional, Eswar Prasad menyatakan keprihatinannya mengenai masa depan ekonomi China.
“Kemungkinan suatu hari PDB China akan melampaui PDB AS sedang menurun,” katanya.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, pemerintah China tetap optimis.
Pada malam tahun baru lalu, Presiden Xi Jinping mengklaim perekonomian China telah menjadi lebih tangguh dan dinamis tahun ini.
Sejumlah data mendukung optimisme ini, di antaranya aktivitas pabrik yang meningkat dan sektor barang mewah menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Namun, konsensus mengenai prospek ekonomi China masih jauh dari seragam.
Pemenang Hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi, Paul Krugman, menyatakan sikap yang sebaliknya.
Dia menyebut China sedang memasuki era stagnasi dan kekecewaan, terutama setelah pencabutan kebijakan nihil Covid-19 yang tidak menghasilkan ledakan ekonomi yang diharapkan.
Pasar properti yang merupakan komponen penting perekonomian China sedang menghadapi masalah yang parah.
Pendiri Hayman Capital yang berbasis di Dallas, Kyle Bass, membandingkan situasi ini dengan krisis keuangan AS, namun dalam skala yang jauh lebih besar.
“Ini seperti krisis keuangan AS yang disebabkan oleh steroid,” katanya.
Menurutnya, sektor real estate di negara ini terlalu bergantung pada utang.
Kini kondisi China sedang menuju kondisi keuangan era 2008. Dia memperingatkan akan memburuknya kondisi meskipun ada jaminan peraturan.
“Arsitektur dasar perekonomian China telah rusak,” menurut laporan GB News.
Ekonomi China Tak Semua Suram
Namun, tidak semua pandangan tentang kondisi ekonomi China saat ini suram.
Institute of International Finance mempertahankan perkiraan yang lebih optimis.
Menurut mereka, China memiliki kapasitas kebijakan untuk mencapai potensi pertumbuhannya, dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 5 persen pada tahun 2024.
Namun, perkiraan ini bergantung pada langkah-langkah stimulus sisi permintaan yang efektif.
Angka PDB terbaru, yang jauh dari ekspektasi, menggarisbawahi tantangan yang sedang dihadapi perekonomian China.
Perlambatan ekonomi China dan tantangannya saat ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Amerika Serikat.
Hubungan antara AS dan China berada pada titik kritis karena ketegangan perdagangan dan tarif.
Saling ketergantungan ekonomi ini artinya, perkembangan perekonomian China dapat berdampak luas pada pasar global, termasuk pasar Amerika Serikat.
Saat China mengatasi rintangan-rintangan ini, komunitas global memperhatikan dengan cermat dan menyadari dampak signifikan yang akan timbul di seluruh dunia akibat perkembangan perekonomian China.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"