KONTEKS.CO.ID – Tupperware bangkrut. Ya, perusahaan kontainer makanan ikonik tersebut bersama sejumlah anak usahanya, resmi mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11.
Pengajuannya Tupperware bangkrut perusahaan ajukan di Pengadilan Amerika Serikat pada hari Selasa lalu.
Setelah puluhan tahun menjadi pilihan utama rumah tangga di seluruh dunia, Tupperware menyerah. Ini lantaran permintaan yang terus menurun dan meningkatnya kerugian finansial.
Lonjakan permintaan yang pernah Tupperware alami selama pandemi, di mana pembatasan sosial memaksa banyak orang untuk memasak di rumah, ternyata hanya berlangsung sementara.
Pada saat itu, produk Tupperware seperti wadah plastik berwarna-warni dan kedap udara, kembali pasar minati. Namun, begitu pandemi mereda, permintaan kembali menurun drastis.
Lonjakan biaya bahan baku seperti resin plastik, biaya tenaga kerja dan pengangkutan yang meningkat pascapandemi, memperparah keuangan perusahaan yang sudah goyah.
“Selama beberapa tahun terakhir, posisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan makroekonomi yang menantang,” ujar CEO Tupperware, Laurie Goldman, dalam pernyataan resminya yang mengutip Reuters, Rabu 19 September 2024.
Menurutnya, Tupperware telah berjuang untuk memperbaiki kinerjanya namun gagal menghadapi tekanan biaya yang semakin besar.
Upaya Penyelamatan Tupperware yang Bangkrut Gagal
Sebelum resmi mengajukan kebangkrutan, Tupperware sebenarnya telah berusaha keras untuk bertahan. Perusahaan mencoba mengubah strategi bisnisnya selama empat tahun terakhir.
Pada 2023, Tupperware menandatangani perjanjian dengan beberapa pemberi pinjaman untuk merestrukturisasi kewajiban utangnya.
Mereka juga bekerja sama dengan bank investasi Moelis & Co untuk mencari alternatif strategis. Seperti menjual sebagian aset atau mencari investor baru. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Dalam pengajuan kebangkrutannya di Pengadilan Kebangkrutan AS untuk Distrik Delaware, Tupperware mencatatkan estimasi aset senilai antara USD500 juta hingga USD1 miliar (sekitar Rp7,75 triliun-15,5 triliun).
Sementara itu, kewajiban perusahaan diperkirakan mencapai USD1 miliar hingga USD10 miliar (sekitar Rp15,5 triliun-155 triliun). Jumlah kreditur yang menuntut haknya pun dilaporkan mencapai 50.001 hingga 100.000 pihak.
Sejarah Kejayaan yang Berakhir Tragis
Tupperware, yang terkenal sebagai pelopor wadah penyimpanan makanan, pernah berjaya di pasar global.
Produk mereka menjadi simbol inovasi dan gaya hidup modern, terutama di era 60-an hingga 90-an.
Melalui strategi pemasaran yang unik seperti “Tupperware Party”, perusahaan ini berhasil membangun basis pelanggan setia yang kuat.
Namun, sejak kuartal ketiga 2021, penjualan Tupperware terus menurun selama enam kuartal berturut-turut.
Meski sempat menikmati kebangkitan singkat selama pandemi, kenyataan pahit menghantui perusahaan ini.
Konsumen berpenghasilan menengah dan rendah yang menjadi tulang punggung pasar Tupperware, semakin sulit menjangkau akibat inflasi yang tinggi.
Situasi ini kian buruk dengan persaingan ketat dari produk penyimpanan makanan serupa yang lebih murah dan mudah terakses.
Kini, dengan permohonan perlindungan kebangkrutan, Tupperware resmi menyerah setelah lebih dari setengah abad menjadi ikon rumah tangga di berbagai belahan dunia.
Nasib perusahaan ini masih akan ditentukan di pengadilan, termasuk bagaimana kelanjutan nasib para kreditur dan karyawan mereka.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Langkah pengajuan kebangkrutan Bab 11 memungkinkan Tupperware untuk merestrukturisasi utangnya di bawah pengawasan pengadilan. Dengan harapan dapat menemukan jalan keluar untuk kembali bangkit.
Namun, masa depan Tupperware masih sangat tidak pasti, mengingat beban utang yang sangat besar dan penurunan permintaan yang terus berlangsung.
Untuk para pelanggan setia yang pernah mengenal keandalan produk ini, berita kebangkrutan Tupperware bisa menjadi akhir dari sebuah era.
Pertanyaan terbesar sekarang adalah, apakah ada ruang bagi Tupperware untuk bertahan di pasar yang semakin kompetitif? Atau justru perusahaan ini akan tinggal kenangan di masa lalu? ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"