KONTEKS.CO.ID – Awal bulan September 2024, Pemerintah AS memberikan peringatan atas penetapan kerja paksa di tambang nikel Indonesia.
Temuan ini memiliki implikasi besar bagi transisi energi karena nikel dalam jumlah besar terbutuhkan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik (EV) dan teknologi energi rendah karbon lainnya.
Setidaknya ada dua media ternama dunia yang menurunkan buruknya industri tambang nikel Indonesia. Yaitu, South China Morning Post dan Asia Times pada akhir pekan kemarin.
Indonesia, yang memiliki hampir seperempat cadangan nikel dunia, mempekerjakan sekitar 6.000 pekerja migran China. Menariknya, tenaga kerja asing (TKA) China itu tersebutkan dalam kondisi yang seringkali tereksploitatif. Baik dalam hal upah rendah, jam kerja panjang, pengawasan, dan isolasi.
Pencatatan baru ini menyoroti apa yang telah lama diketahui tentang industri nikel Indonesia yang bermasalah. Sekaligus menggarisbawahi tekad China untuk mendominasi rantai pasokan mineral penting—tanpa mempedulikan biaya manusia atau lingkungan.
Industri nikel Indonesia sedang dalam pengawasan ketat, tidak hanya karena pelanggaran hak-hak buruh. Tetapi juga karena kerusakan lingkungan yang parah.
Penarikan rencana investasi BASF baru-baru ini dari kilang nikel senilai USD2,6 miliar di Weda Bay, Maluku, mencerminkan meningkatnya kekhawatiran global.
Meskipun BASF mengaitkan keputusannya dengan dinamika pasar, seruan dari kelompok lingkungan dan hak asasi manusia terhadap proyek tersebut memainkan peran penting.
Keluarnya BASF dan temuan Departemen Tenaga Kerja AS tentang kerja paksa seharusnya menjadi peringatan bagi sektor energi bersih dan otomotif.
Industri nikel Indonesia mendapat dukungan investasi China senilai miliaran dolar AS. Hal ini mengancam akan merusak transisi energi bersih, khususnya bagi perusahaan yang menggunakan nikel dalam baterai kendaraan listrik.
Industri Otomotif Dunia Hindari Pemakaian Produk Tambang Nikel Indonesia
Laporan investigasi dari Bloomberg News menggambarkan gambaran suram tentang kolaborasi Indonesia dengan China. Sungai-sungai di kepulauan itu berubah menjadi merah karena limbah tambang.
Sementara ekosistem lokal mereka hancurkan, menurut laporan tersebut. Kematian pekerja dan bentrokan telah menjadi hal yang sangat umum.
Keterlibatan mendalam China dalam industri nikel Indonesia, dengan sekitar USD30 miliar tersalurkan ke pertambangan dan pemrosesan, telah memungkinkan perluasan yang sangat cepat ini.
Selama dekade terakhir, produksi nikel Indonesia yang ditambang meningkat dari 440.000 metrik ton pada 2013 menjadi 1,8 juta metrik ton pada 2023, menurut data USGS.
Pada tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan menambang dan memurnikan lebih dari setengah nikel dunia. Ini memposisikan Nusantara sebagai pemimpin global—meskipun dengan biaya yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
Ekonomi nikel Indonesia menarik, tetapi biaya sebenarnya tersembunyi. Sebaliknya, produsen di pasar seperti Australia, Kanada, dan AS menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi sambil mematuhi standar lingkungan dan ketenagakerjaan yang lebih ketat.
Pasar belum memperhitungkan biaya penggundulan hutan, polusi tailing, kekerasan di tempat kerja, atau emisi CO2. Namun seruan dari orang-orang seperti taipan pertambangan Australia Andrew Forrest untuk membedakan sumber nikel berdasarkan emisi CO2 telah ditanggapi oleh Fastmarkets, misalnya.
Namun tanpa penghitungan karbon yang jelas, perusahaan yang berharap untuk menjual ke UE, misalnya, tidak akan memenuhi syarat untuk Paspor Baterai UE. Lebih jauh, perusahaan yang membeli nikel Indonesia tidak akan memenuhi syarat untuk kredit pajak Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS (IRA) berdasarkan pedoman Entitas Asing yang Menjadi Perhatian Departemen Keuangan AS.
Risiko Produk Nikel ‘Berdarah’ RI
Produsen dan investor Barat harus mempertimbangkan risiko pengadaan “nikel berdarah” dari Indonesia. Di luar penghematan biaya langsung, risiko reputasi dan operasional jangka panjang membayangi.
Reaksi publik dapat menyebabkan kerusakan merek yang signifikan, khususnya bagi perusahaan yang menggembar-gemborkan komitmen keberlanjutan. Ketika regulator AS mulai meneliti greenwashing perusahaan, produsen dapat menghadapi hukuman karena pengadaan bahan yang bertentangan dengan nilai yang ternyatakan.
“Semakin lama kita ragu, semakin banyak anak-anak akan terpaksa bekerja di tambang berbahaya. Semakin banyak pekerja akan mengalami eksploitasi dan pelanggaran ketenagakerjaan akan semakin mengakar dalam rantai pasokan mineral penting,” kata Wakil Wakil Menteri Tenaga Kerja AS, Thea Lee, dalam pengarahan pada tanggal 5 September tentang keadaan global pekerja anak dan pekerja paksa.
“Kita harus mencari investasi energi bersih baru di negara-negara yang berkomitmen untuk menghormati hak-hak dasar pekerja,” kata Lee.
Para eksekutif otomotif dan manajer rantai pasokan harus menyadari risiko yang ada di balik permukaan. Penghematan jangka pendek dari nikel Indonesia dapat berubah menjadi kewajiban jangka panjang.
Baik itu ketergantungan Departemen Pertahanan AS pada nikel untuk perangkat keras militer atau pembeli mobil yang mencari kendaraan listrik yang terproduksi secara etis, risiko nikel Indonesia terlalu besar untuk terabaikan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"