KONTEKS.CO.ID – Pertumbuhan ekonomi China melambat mulai terasa oleh Generasi Z yang selama ini terkenal konsumtif terhadap barang mewah Barat.
Kini Gen Z China harus mengucapkan selamat tinggal kepada Louis Vuitton dkk. Sekarang mereka condong ke “ekonomi tiruan” saat prospek pertumbuhan mandek.
Dampak pertumbuhan ekonomi China melambat sangat terasa oleh Zheng Jiewen, 23 tahun. Anak muda ini bekerja penuh waktu di sebuah biro iklan di kota besar Guangzhou di wilayah selatan.
Zheng, yang sebagian besar adalah model cetak, biasanya meraup Rp64 juta per bulan saat mulai bekerja dua tahun lalu. Tapi sekarang, mulai tahun lalu, saat bisnis perusahaan tempatnya bekerja mulai menurun, gajinya terkurangi secara bertahap. Puncaknya, pemotongan besar pada bulan Februari yang memangkas penghasilannya menjadi hanya setengah dari gaji sebelumnya.
“Saya sangat terkejut,” katanya kepada CNN, Rabu 25 September 2024.
Ia segera menurunkan pengeluarannya agar sesuai dengan gaji barunya. Itu berarti tidak ada lagi Louis Vuitton, Chanel, atau Prada, yang sebelumnya merupakan merek andalannya.
Saat ini, ia dan teman-temannya menghabiskan dana mereka yang lebih terbatas untuk apa yang disebut produk “pingti”. Yakni, replika berkualitas tinggi dari barang bermerek yang terkenal dalam bahasa Inggris sebagai dupes.
Beberapa barang hampir tidak bisa terbedakan dari barang aslinya. Sementara yang lain terinspirasi oleh desain asli dan menawarkan lebih banyak warna atau tekstur.
Pertumbuhan Ekonomi China Melambat, Gen Z Buru Barang Murah
Popularitas kategori produk ini melonjak karena kepercayaan konsumen di China mendekati titik terendah dalam sejarah, menurut para analis.
“Perlambatan ekonomi yang ‘jelas’ telah mengakibatkan pencarian di media sosial untuk barang tiruan meningkat tiga kali lipat dari tahun 2022 hingga 2024,” kata Laurel Gu, Direktur Mintel yang berbasis di Shanghai, sebuah firma riset pasar.
Gu mengatakan, tidak seperti 10 tahun lalu ketika pembeli China, pembelanja barang mewah teratas dunia, menginginkan barang-barang Barat dari merek-merek terkenal. Konsumen sekarang semakin beralih ke alternatif yang lebih terjangkau, sebuah tren yang menjadi “arus utama baru”.
Barang tiruan bisa jauh lebih murah daripada pesaing bermerek mereka. Sepasang celana yoga Align dari Lululemon (LULU) berharga Rp1,6 juta di situs web resminya.
Tapi pencarian di situs e-commerce populer, termasuk Tmall, menghasilkan lusinan opsi lain. Bahkan sering kali mereka menggunakan nama “Lulu” di tokonya.
Mereka menawarkan legging serupa dengan harga hanya Rp76.000 dan mengklaim memiliki kualitas yang sebanding.
Meningkatnya kecintaan China terhadap barang tiruan bukan hanya masalah bagi merek mapan seperti Louis Vuitton. Penjualan di pemilik pusat perbelanjaan mewahnya, LVMH, turun 10% dalam enam bulan pertama tahun ini di wilayah Asia. Ini belum termasuk Jepang, dibandingkan dengan tahun 2023. Pasar tersebut terdominasi oleh China.
Tren pingti berkontribusi pada konsumsi dan penjualan ritel yang secara keseluruhan lesu, yang gagal memenuhi ekspektasi yang sudah rendah bulan lalu. Serangkaian data ekonomi selama musim panas sangat lemah sehingga para ekonom khawatir China mungkin gagal mencapai target pertumbuhan 5% yang mereka umumkan pada bulan Maret.
Pada Selasa kemarin, Bank Sentral Tiongkok meluncurkan paket tindakan baru untuk menghidupkan kembali pertumbuhan. Mereka memangkas suku bunga utamanya dan mengurangi jumlah uang tunai yang perlu tersimpan bank sebagai cadangan. Dengan harapan akan membebaskan uang untuk keperluan pinjaman.
Pasar saham di Hong Kong dan China telah menguat tajam sebagai respons, dengan indeks Hang Seng dan Shanghai Composite masing-masing ditutup 4% lebih tinggi.
Konsumen yang Berhati-hati
Satu setengah tahun setelah China membuka kembali perbatasannya menyusul pandemi COVID-19, kepercayaan konsumen masih berjuang untuk pulih, tulis ekonom di bank investasi Nomura dalam catatan penelitian awal bulan ini.
Indeks kepercayaan konsumen turun menjadi 86,0 pada bulan Juli dari 86,2 pada bulan Juni. Hanya sedikit di atas level terendah historis 85,5 yang dicapai pada bulan November 2022, ketika negara itu masih terperosok dalam kesengsaraan pandemi.
“Pembeli tidak melakukan pembelian karena kombinasi dari harga saham yang jatuh, pelarian modal, dan pertumbuhan upah yang ‘suam-suam kuku’,” kata para ekonom.
Namun, menurut wawancara CNN dengan konsumen di berbagai wilayah di sana, mempertahankan gaji Anda saat ini sudah teranggap sebagai sebuah kemenangan.
Seorang guru matematika sekolah dasar dari Chongqing, China barat daya, Xinxin mengutarakan, sebelumnya ia adalah penggemar setia serum Advanced Night Repair dari Estée Lauder.
Namun setelah pemotongan gaji yang “brutal” lebih dari 20% pada tahun ini, Xinxin beralih ke produk alternatif yang ramah anggaran.
Ia menemukan satu serum dengan bahan utama yang sama dengan harga diskon Rp212.000 untuk 20 mililiter. Ini adalah harga yang jauh lebih murah daripada Estée Lauder 30 mililiter seharga Rp1,5 juta.
“Mengapa menipu? Pemotongan gaji, tentu saja!” candanya.
Xinxin dan Zheng, sang model, menganggap diri mereka beruntung memiliki pekerjaan. Pada hari Jumat pekan lalu, China mengungkapkan tingkat pengangguran untuk orang berusia 18 hingga 24 tahun. Ini belum termasuk mahasiswa, naik menjadi 18,8% pada bulan Agustus.
Ini adalah level tertinggi sejak angka tersebut diperkenalkan kembali pada bulan Januari. China berhenti merilis metrik tersebut selama beberapa bulan setelah mencapai rekor tertinggi berturut-turut musim panas lalu. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"