KONTEKS.CO.ID – Sumur minyak ilegal yang dikelola oleh masyarakat banyak bertebaran di Indonesia. Salah satunya di Sumatera Selatan.
Dalam diskusi bertema “Sengkarut Illegal Drilling dan Illegal Refinery” yang diadakan oleh Suara Netizen +62, di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, terungkap adanya 10.000 sumur minyak ilegal. Bahkan ini bukan jumlah satu provinsi, melainkan hanya satu satu kecamatan.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, membenarkan banyaknya pengelolan sumur ilegal. Bukan hanya itu, tambang ilegal juga sangat marak.
Nada miring itu terbukti dengan pengungkapan dua kasus besar tambang nikel dan timah baru-baru ini. “Ada ekspor nikel ilegal hingga lima juta ton. Ada sinkronisasi ada Bea Cukai di sini dan China, ini kok mereka masih terima bahan tambang nikel mentah. Padahal itu sudah Indonesia larang,” beber Anthony.
Ia menambahkan tambang emas juga ada yang ilegal. Dan lagi-lagi pelakunya ternyata warga negara China.
Fatalnya, sambung dia, munculnya Satuan Tugas atau Satgas seperti hanya perlindungan saja. Contohnya di judi online yang ternyata mendapat perlindungan dari oknum Kementerian Komunikasi dan Digital.
“Begitu juga dengan temuan transaksi mencurigakan dari pegawai Kemenkeu. Satgas tak menghasilkan,” kritik Anthony.
Sumur Minyak Ilegal Sudah Lagi Tak Ekonomis
Ia menjelaskan, sumur ilegal adalah aset tidur yang perusahaan besar tinggakan. “Ini aset tak produktif. Kalau ini mereka buat produktif tidak menguntungkan (biaya produksi dan hasil minus),” jelasnya.
Namun sebenarnya ini bisa menambah produksi minyak dalam negeri. Dengan demikian mengurangi impor, sekaligus menghemat devisa.
“Kenapa (sumur) ilegal, perizinannya sangat jauh ke Kementerian ESDM. Mereka mungkin selevel UMKM, enggak mungkin dilayani,” cetusnya.
Karena itu, saran dia, harus ada pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemda. “Jadi pemasukan negara bukan pajak bagi daerah,” tambahnya.
Produksi minyak sumur ilegal sendiri per unitnya bisa mencapai 2 drum atau 400 liter minyak mentah per harinya. Hasil tersebut biasanya terbagikan kepada lebih dari 1 orang.
“Sehari potensinya 4 juta liter atau ekivalen 25 barel, atau sekitar 5% dari produksi nasional. Di minyak, kita sudah defisit USD1 miliar-4 miliar,” bebernya.
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, berpendapat kehadiran para penambang minyak rakyat jangan dilawan. Melainkan sebaiknya ada pendampingan atau pembinaan.
Bagi hasil sumber daya alam ini sendiri ke Sumatera Selatan tergolong sedikit. Misalnya pada 2022 hanya Rp2 triliun dan dana itu harus pemprov bagikan ke kota dan kabupatan.
Ia menilai, polisi sendiri hanya bersifat pengendalian karena ketiadaan anggaran untuk penyidikan kasus.
Sementara itu, Kasubnit 2 Subdit 5 Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipiter) Bareskrim Polri, AKP Wawan Purnama, mengatakan, keberadaan sumur minyak ilegal tetap akan polisi pidana.
“Selama ada dua bukti dan undang-undangnya berlaku, maka kami akan mempidanakannya. Karena ini memang tugas polisi,” tegasnya.
Menurut Wawan, Bareskrim selalu berkoordinasi dengan wilayah atau daerah. Jika ada laporan illegal drilling atau illegal refinery, maka pihaknya akan menindaklanjutinya.
Para pelaku juga biasanya beroperasi berpindah-pindah. “Bisa di kebun atau bahkan di dalam rumah. Biasanya warga lokal tapi ada juga dari Jawa,” katanya lagi.
Wawan menegaskan, polisi harus menindak setiap pelaku yang terlibat sumur minyak ilegal. Sebab UU yang mengaturnya masih berlaku.
“Kami di sini bertindak sebagai penindak karena kami bukan pembuat kebijakan. Kebijakan (UU atau peraturan) adalah dasar polisi bertindak,” cetusnya.
Menurut Wawan, masing-masing desa dan kecamatan sudah memiliki data sumur ilegal. Namun mereka beroperasi secara dinamis atau berpindah-pindah.
“Karena itu, kami mendorong adanya pihak yang mengorganisasikan (mengajukan izin), tidak kucing-kucingan seperti sekarang. Kalau sudah berizin kan sudah jelas ada reklamasinya,” sarannya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"