KONTEKS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi menilai Perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Partnership Agreement (IEU CEPA) akan memperdalam krisis demokrasi, iklim, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Koalisi MKE mendesak agar Pemerintah Indonesia tidak melanjutkan perundingan perjanjian tersebut sebelum adanya jaminan kepastian hukum atas terpenuhinya hak demokrasi, jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia, Hak atas Keadilan Sosial, dan Hak atas Lingkungan Berkelanjutan.
Perundingan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antar Indonesia dengan Uni Eropa (IEU CEPA), sedang berlangsung pekan ini pada 6-10 Februari 2023.
Menurut Koalisi MKE, perundingan I-EU CEPA dilakukan tanpa proses demokrasi dari soal transparansi hingga partisipasi yang berkualitas dari publik.
Senyapnya proses perundingan perjanjian ini membuat banyak pertanyaan terutama dalam hal pengaturan kemitraan ekonomi Indonesia.
Perjanjian dengan kawasan sebesar uni eropa itu dirasa dapat mengancam kerusakan lingkungan dengan rantai suplai yang ekstraktif hingga ancaman keadilan sosial khususnya perempuan, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat dan seluruh rakyat Indonesia.
I-EU CEPA juga akan melegalkan pengabaian konstitusi dengan menjadikan substansi dalam Perppu Cipta Kerja sebagai dasar pengikatan komitmen liberalisasi oleh Pemerintah Indonesia di dalam perjanjian tersebut.
Padahal Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi Indonesia dan meminta Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki UU tersebut dalam waktu dua tahun sejak putusan dikeluarkan.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan, perundingan Indonesia EU CEPA ini tidak inklusif dan tidak membuka ruang transparansi dan demokratisasi dalam setiap prosesnya.
“Hal ini dibuktikan dengan minimnya informasi perkembangan tentang hal-hal yang dibahas secara substansi dalam Perundingan IEU CEPA. Bahkan, Perjanjian ini akan akan berkontribusi terhadap pendalaman krisis demokrasi di Indonesia dan melegalkan pengabaian Konstitusi oleh Pemerintah Indonesia,” katanya dalam keterangan yang diterima konteks.co.id, Jumat, 10 Februari 2023.
Krisis Iklim dan Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan
Koalisi MKE juga meyakini bahwa kerjasama perdagangan dan investasi dalam I-EU CEPA makin memperdalam krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan di Indonesia.
Perjanjian ini dipakai untuk membuka akses rantai pasok mineral penting tanpa adanya hambatan dalam perdagangan dan investasi.
Peneliti Transnational Institute, Rachmi Hertanti, menjelaskan kalau kepentingan Uni Eropa untuk mendapatkan akses mineral Indonesia melalui Bab Energi dan Raw Materials dalam I-EU CEPA hanya akan memperdalam eksploitasi sumber-sumber ekstraktif Indonesia dan memperparah kerusakan lingkungan.
Selain itu, akan menambah potensi pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat terdampak di sekitar area industri. Lebih lanjut, kompetisi perebutan bahan mineral penting di dunia akan membuka peluang peningkatan gugatan ISDS oleh investor asing.
Kemudian, pengaturan mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) di dalam bab Investasi I-EU CEPA hanya akan membuka lagi potensi Indonesia digugat oleh korporasi multinasional di lembaga arbitrase Internasional seperti ICSID.
“Sebelumnya Indonesia telah kalah di WTO atas gugatan Uni Eropa terkait kebijakan pembatasan ekspor Nikel dan kewajiban pengolahan dalam negeri. Namun, kasus ini tidak boleh dipertukarkan dengan kesepakatan dagang yang akan memperdalam krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. IEU CEPA hanya akan mendorong perluasan ekonomi ekstraktif di Indonesia. Dan, ini menjadi persoalan serius dalam mewujudkan agenda transisi yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia,” katanya.
Peneliti dari Kaoem Telapak, Anang F. Sidik, menerangkan I-EU CEPA secara tidak langsung sulit mendorong perubahan kebijakan tata kelola lingkungan, utamanya tata kelola perkebunan sawit, apabila tidak ada komitmen kuat dari kedua belah pihak.
“Bab Trade and Sustainable Development (TSD) yang digadang menjadikan I-EU CEPA sebagai “green FTA” juga tidak menunjukkan keseriusan komitmen kedua belah pihak dalam perlindungan lingkungan dan perlindungan HAM,” katanya.
Pada tahun 2022 akhir, Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang Produk Bebas Deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Aturan undang-undang ini mencegah komoditas seperti kelapa sawit, kayu, kopi, dan kakao untuk masuk ke pasar Uni Eropa apabila terbukti menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan.
Aturan ini kemudian memaksa seluruh negara produsen untuk menaati segala prinsip dan kriteria yang diatur di dalamnya.
Krisis Keadilan Sosial
Selanjutnya, Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ) Lutfiyah Hanim, memberikan catatan kritis agar perundingan ini terbuka dan demokratis. Karena nantinya dampak dari Perjanjian IEU CEPA ini juga akan berdampak ke masyarakat luas.
“Seperti dalam isu pertanian dan benih, kami memberikan peringatan ke negosiator Indonesia agar jangan bergabung menjadi anggota UPOV 1991. Karena itu akan berpotensi merugikan bagi benih dan Petani kecil di Indonesia,” katanya.
DItambahkan Lutfiyah, hal-hal seperti ini harus diperhatikan, karena jangan sampai Indonesia justru mengebiri kedaulatan bangsa sendiri.
Kelompok masyarakat sipil juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menolak proposal Uni Eropa yang mewajibkan Indonesia menjadi anggota dan atau menerapkan UPOV 1991, atau memaksakan kewajiban, peraturan dan pembatasan lainnya sesuai UPOV 1991.
Peneliti Sahita Institute (Hints), Olisias Gultom menambahkan, bahwa dalam perdagangan digital aturan yang diberlakukan akan membuat Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya terus menjadi negara berkembang dan bergantung pada negara-negara maju.
“Upaya pengambilan data besar-besaran dari negara berkembang ke negara maju harus dihentikan”, ungkap Olisias.
Menurut Indonesia AIDS Coalition (IAC), Ferry Norilla, yang terus mendampingi kelompok pasien HIV menyatakan, Perjanjian perdagangan bebas, termasuk I-EU CEPA, melukai dan berdampak serius kepada akses ke obat dan kesehatan. Kelompok pasien dengan tegas menolak negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Uni Eropa karena dapat berdampak negatif pada upaya menyehatkan masyarakat.
”Hal ini karena ketentuan TRIPS Plus yang diajukan oleh pihak Uni Eropa. Ketentuan TRIPS Plus ini menerapkan standar perlindungan yang lebih ketat dari TRIPS, dampaknya akan semakin memperkuat monopoli, meningkatkan harga obat dan menghilangkan potensi produksi obat generik,” katanya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"