KONTEKS.CO.ID – Sabrang Mowo Damar Panuluh, yang lebih akrab disapa Noe, adalah sosok vokalis dari band musik Letto yang populer di Indonesia.
Namun, di balik popularitasnya sebagai musisi, ada banyak hal menarik tentang kehidupan Noe yang patut untuk di explore.
Dia merupakan anak dari budayawan ternama, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), dan telah menunjukkan bakat multi talentanya tidak hanya dalam musik tapi juga dalam dunia perfilman.
Artikel ini akan mengungkap sejumlah fakta menarik tentang Noe, perjalanan karirnya, dan dedikasi dalam menciptakan harmoni dalam hidupnya.
Keluarga dan Pendidikan
Noe lahir pada tanggal 10 Juni 1979 sebagai bunga pertama dari pasangan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Neneng Suryaningsih.
Sayangnya, orang tuanya memutuskan untuk berpisah ketika Noe berusia enam tahun. Masa kecilnya diwarnai oleh perpindahan, dan Noe menjalani masa SD di SD 1 Yosomulyo, Lampung, sebelum kemudian melanjutkan ke SMP Xaverius Metro, Lampung.
Bakat musik Noe mulai tumbuh saat dia masih remaja SMP. Pamannya memberikan kaset bekas dengan lagu-lagu megah dari band Queen yang menjadi inspirasinya.
Dari situlah, Noe mulai tertarik untuk menciptakan musik yang bisa menyentuh hati orang lain. Kecintaannya pada musik terus berkembang, dan dia mulai bermain keyboard yang menjadi sahabat setianya.
Setelah menyelesaikan SMP, Noe kembali ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikannya di SMU 7 Yogyakarta.
Di sinilah dia bergabung dengan ayahnya, Cak Nun, dan terlibat dalam komunitas yang memberikan inspirasi.
Di sekolah inilah juga, dia bertemu dengan teman-teman sejatinya, Ari, Dedy, dan Patub, yang nantinya akan bersama-sama membentuk band Letto.
Setelah lulus dari SMU, Noe melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Alberta, Kanada. Di sana, dia mengejar dua jurusan sekaligus, matematika dan fisika, dan berhasil meraih dua gelar akademis, yaitu Bachelor of Mathematics dan Bachelor of Physics.
Karier Sabrang
Setelah kembali ke Indonesia, Noe sering berkumpul di studio Kiai Kanjeng yang dipimpin oleh Novi Budianto, sahabat dan partner bapaknya, Cak Nun.
Dari sini, Noe belajar tentang proses produksi musik dan semakin mengasah kemampuannya dalam bermusik. Bersama band Letto, dia berhasil menciptakan lagu-lagu berkelas yang menarik perhatian label musik Musica.
Pada tahun 2004, Letto resmi dibentuk dan merilis album perdana mereka yang bertajuk “Truth, Cry, and Lie.” Album ini meraih kesuksesan dengan sertifikasi double platinum dan membawa Letto masuk ke deretan musisi Indonesia terkemuka.
Tidak hanya berbakat dalam musik, Noe juga membuktikan diri sebagai seorang multi talenta dengan mendirikan Production House Pic[k]Lock Productions bersama Dewi Umaya Rachman.
Dia menjajaki dunia perfilman dan merilis beberapa film, termasuk “Minggu Pagi di Victoria Park” pada tahun 2010 dan “RAYYA, Cahaya Di Atas Cahaya” yang ditulis oleh sang ayah, Cak Nun. Selain itu, Noe juga terlibat dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” pada tahun 2015.
Harmoni Hidup dan Inspirasi
Noe telah membuktikan bahwa keberhasilan dan harmoni dalam hidup dapat dicapai melalui bakat dan dedikasi dalam berkarya.
Dalam setiap karyanya, baik di dunia musik maupun perfilman, Noe selalu menyampaikan pesan-pesan inspiratif yang menghadirkan kehangatan dan kebijaksanaan bagi penikmatnya.
Semangat dan kecintaannya dalam berkarya telah menginspirasi banyak orang untuk mencari makna dan keindahan dalam kehidupan mereka.
Dalam perjalanan hidupnya yang penuh makna, Noe terus mengejar ketertarikannya dan menghadirkan karya-karya cemerlang yang memberikan inspirasi bagi banyak orang.
Dengan segala potensi dan dedikasinya, Noe terus menapaki jejaknya yang menginspirasi dan menghadirkan harmoni dalam hidupnya sendiri dan orang lain.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"