KONTEKS.CO.ID – Film Oppenheimer tengah ramai dibicarakan, lantaran menuai banyak kontroversi terutama untuk Rakyat Jepang.
Seperti yang diketahui, Oppenheimer adalah sosok dibalik pembuatan bom atom yang dijatuhkan di Jepang pada tahun 1945.
Oppenheimer juga turut menyesalkan perbuatannya, karena telah membunuh puluhan ribu nyawa Rakyat Jepang.
Film Oppenheimer memang tidak memberikan gambaran dari sudut pandang Rakyat Jepang.
Sehingga beberapa penonton merasa penasaran, bagaimana jadinya kondisi negara tersebut setelah dijatuhi bom atom.
Berikut, telah kami rangkum kesaksian dari korban bom atom Jepang dilansir dari TIME.
Inilah Kesaksian Rakyat Jepang, Korban Bom Atom Oppenheimer
YASUJIRO TANAKA
“Saya berusia 3 tahun saat bom meledak.
Saya tidak ingat banyak, tapi saya ingat ketika sekeliling saya berubah menjadi putih terang.
Rasanya seperti diprotret dengan flash kamera, yang jumlahnya jutaan secara bersamaan.
Kemudian, kegelapan total.
Saya dikubur hidup-hidup di bawah rumah, demikian kata orang pada saya.
Ketika akhirnya paman saya menemukan saya dan menarik tubuh kecil keluar dari reruntuhan.
Saya tidak sadarkan diri. Untungnya, saya selamat.
Setelah hari itu, tubuh saya mulai muncul banyak kerak.
Saya kehilangan pendengaran di telinga kiri, mungkin akibat suara ledakan.
Lebih dari satu dekade setelah serangan bom, ibu saya masih memiliki sayatan-sayatan kaca di kulitnya.
Adik perempuan saya menderita kram otot kronis sampai hari ini, ditambah masalah ginjal yang membuatnya harus menjalani cuci darah tiga kali seminggu.
‘Apa yang telah saya lakukan kepada orang Amerika? Mengapa mereka melakukan ini pada saya?’, Adik saya sering berkata seperti itu.
Saya telah melihat banyak rasa sakit, tetapi jujur, saya bersyukur masih diberi kesempatan menjalani kehidupan yang baik.
Sebagai saksi langsung atas kekejaman ini, keinginan saya hanya ingin hidup di tempat di mana orang saling baik satu sama lain, dan pada diri mereka sendiri.”
SACHIKO MATSUO
“Pesawat pengebom B-29 Amerika, memberikan selebaran berisi peringatan di seluruh kota.
Bahwa Nagasaki akan ‘lenyap menjadi abu’ pada tanggal 8 Agustus.
Selebaran-selebaran itu dirampas oleh kenpei (Tentara Kekaisaran Jepang). Ayah saya pun berusaha untuk mendapatkan selebaran itu.
Ia membacanya dan percaya, sehingga berusaha untuk melindungi keluarga kami.
Dia membangun sebuah barak kecil di sepanjang Iwayasan (gunung setempat) untuk bersembunyi.
Kami pergi ke sana pada tanggal 7, 8. Jalan menuju barak itu curam dan terjal, sehingga sulit untuk dilewati anak-anak dan orang tua.
Pagi hari tanggal 9, pukul 11:02 pagi itu, bom atom dijatuhkan. Keluarga kami – setidaknya yang ada di barak – selamat dari bom itu.
Saya bersyukur, keluarga kami selamat.
Namun, setelah itu Ayah saya mengalami diare dan demam tinggi.
Rambutnya mulai rontok dan bintik-bintik gelap muncul di kulitnya
Ayah saya meninggal dunia dengan sangat menderita, pada tanggal 28 Agustus.
Jika bukan karena ayah saya, kami mungkin telah menderita luka bakar parah seperti Bibi Otoku, hilang seperti Atsushi, atau terjebak di bawah rumah dan perlahan-lahan terbakar sampai mati.
Lima puluh tahun kemudian, saya bermimpi tentang ayah saya untuk pertama kalinya sejak kematiannya.
Dia mengenakan kimono dan tersenyum, sedikit sekali. Meskipun kami tidak saling berbicara, setidaknya saya merasa pada saat itu dia ada di surga.”
TAKATO MICHISHITA
“‘Jangan pergi ke sekolah hari ini,’ kata ibu saya. ‘Kenapa?’ adik perempuan saya bertanya. ‘Jangan saja.’
Alarm serangan udara sering kali berbunyi pada waktu itu.
Namun pada tanggal 9 Agustus, tidak ada alarm serangan udara.
Hari itu pagi musim panas yang tidak biasa tenang, dengan langit biru cerah sejauh mata memandang.
Pada hari yang aneh ini, ibu saya bersikeras agar kakak perempuan saya yang lebih tua tidak perlu datang ke sekolah.
Katanya dia punya ‘perasaan buruk.’ Tidak seperti biasanya ibu seperti itu.
Kakak perempuan saya dengan enggan tetap di rumah.
Sementara ibu dan saya saat berusia 6 tahun, pergi berbelanja kebutuhan.
Semua orang berada di teras mereka, menikmati kondisi tenang tanpa adanya alarm serangan udara.
Tiba-tiba, seorang kakek berteriak ‘Pesawat!’ Semua orang bergegas masuk ke tempat perlindungan bom buatan mereka.
Ibu saya dan saya melarikan diri ke toko terdekat.
Saat tanah mulai bergetar, dia dengan cepat merobek lantai tatami, dan meringkuk, menyelimutkan tatami itu kepada saya.
Semuanya berubah menjadi putih. Kami tidak berani bergerak, selama 10 menit.
Akhirnya, kami merangkak keluar dari bawah tikar tatami.
Kaca di mana-mana, banyak debu dan puing-puing mengapung di udara.
Langit yang sebelumnya biru, berubah menjadi warna ungu tua dan abu-abu.
Kami bergegas pulang dan menemukan adik perempuan saya.
Dia shock, namun baik-baik saja.
Kemudian, kami baru menyadari bahwa bom atom jatuh beberapa meter dari sekolah kakak perempuan saya.
Semua orang di sekolah tersebut tewas.”***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"